I. PENDAHULUAN
Sumber hukum islam yang
disepakati ulama’ adalah al Qur’an, Hadits, Ijma’. Qiyas. Jumhur ulama’ menyepakati keempat sumber hukum ini. Namun demikian masih terdapat
beberapa ulama’ yang tidak sepakat terhadap kehujahan qiyas dengan beberapa
alasan.
Seiring perjalan waktu, perkembangan
teknologi dan pengetahuan begitu pesat terjadi, sehingga muncul banyak
permasalahan-permasalahan baru yang terkadang tidak cukup dengan keempat sumber
hukum di atas. Atas dasar demikian muncul setelahnya beberapa metode istinbath hukum yang pada kelanjutannya diklaim sebagai
sumber hukum yang dipercaya. Kemunculan sumber hukum yang baru tidak serta-merta diterima
keabsahannya, sehingga tidak heran pro dan kontra tetap bermunculan bahkan
hingga saat ini. Terlepas dari pro konta yang terjadi, jika melihat dari
situasi dan kondisi masa ini modifikasi terhadap hukum islam merupakan sebuah
keniscayaan.
Di antara sumber hukum yang baru itu
adalah istihsan. Istihsan yang merupakan dalil syariat yang
prinsip dasarnya adalah kebaikan untuk umat, tentunya sangat dibutuhkan untuk
setidaknya meredam permasalahan-permasalahan baru yang terjadi. Karena jika
tetap berpegang pada sumber hukum yang empat dengan fanatisme buta, otomatis
agama akan ditinggalkan karena tidak bisa mewadahi permasalahan-permasalahan
baru yang terjadi.
Metode yang ditawarkan istihsan cukup konflek
kendati tetap membutuhkan pengembangan-pengembangan yang signifikan.
Jamal Ma’mur Asmani misalnya memandang bahwa istihsan merupakan keniscayaan
untuk menerapkannya pada masa ini, hal itu mencakup seluruh bidang kehidupan
(sosial, politik, ekonomi, budaya dan lain sebagainya) tentunya dengan
modifikasi-modifikasi yang tidak bertentangan dengan syariat agama.
Dalam makalah sederhana ini, penulis akan membahas tentang istihsan, hal itu
terkait dengan definisi dan pro kontra yang terjadi terhadapnya. Tidak
ketinggalan pula kita akan mengkaji tentang pentingnya istihsan dalam kehidupan
sekarang ini, yang mana kita temukan banyak sekali permasalahan-permasalahan
kontemporer yang membutuhkan ijtihad hukum yang baru.
II. PEMBAHASAN
A. Pemahaman Istihsan
Istihsan merupakan salah satu metode ijtihad yang diperselisihkan oleh para
ulama, meskipun dalam kenyataannya, semua ulama menggunakannya secara praktis. Pada dasarnya, para ulama
menggunakan istihsan dalam arti lughawi (bahasa), yaitu “berbuat sesuatu
yang lebih baik”. Tetapi dalam pengertian istilahnya, para ulama berbeda
pendapat disebabkan oleh perbedaan dalam memahami dan mendefenisikan istihsan
itu.
Ulama yang
menggunakan metode istihsan dalam berijtihad mendefinisikan istihsan dengan
pengertian yang berbeda dengan definisi dari orang yang menolak cara istihsan.
Demikian juga dengan ulama yang menolak penggunaan istihsan mendefinisikan
istihsan dengan pengertian tidak seperti yang didefiniskan pihak yang
menggunakannya. Seandainya mereka sepakat mengartikan istihsan itu, maka mereka
tidak akan berbeda pendapat dalam menggunakannya sebagai suatu metode ijtihad.[1]
Istihsan secara etimologi berasal dari bahasa Arab, yaitu استحسن - يستحسن - استحســـانا yang berarti memperhitungkan dan meyakini sesuatu itu baik,[2]atau mengikuti sesuatu yang baik menurut
perasaan dan fikiran.[3] Makna yang hampir sama juga dipakai oleh Al-Sarakhsi,
yaitu:
“Berusaha mendapatkan yang terbaik untuk
diikuti bagi suatu masalah yang diperhitungkan untuk dilaksanakan.”
Dari arti
etimologi ini terlihat adanya seseorang yang menghadapi dua hal yang keduanya
baik. Namun ada hal yang mendorongnya untuk meninggalkan satu
di antaranya dan menetapkan untuk mengambil yang satunya lagi, karena itulah
yang dianggapnya lebih baik untuk diamalkan.
Adapun
pengertian istihsan secara terminologi berikut akan dikemukakan beberapa
pandangan ulama ushul dari kalangan empat mazhab dan lainnya:
1.
Istihsan dalam pandangan ulama Hanafiyah
Ulama Ushul
Hanafiyah mendefinisikan istihsan dalam dua rumusan:
a) العمل بالاجتهـــاد وغالب الرأي فى تقدير ما
جعله الشرع موكولا إلى آرائنـــــــــــا
“Berijtihad
dengan segenap fikiran dalam menentukan sesuatu yang oleh syari’at
menyerahkannya kepada pendapat kita.”
b) الدليل الذى يكون معارضا
للقيـــاس الظاهر الذى تسبق إليه الأوهــام قبل إنعام التأمل فيه، وبعد إنعام
التأمل في حكم الحادثة وأشباهها من
الأصول يظهر أن الدليل الذى عارضه فوقه فى القوة فإن العمل به هو الواجب.[5]
“Dalil yang menyalahi
qiyas yang zahir yang didahului dengan prasangka sebelum diadakan pendalaman
terhadap dalil itu, setelah diadakan penelitian yang mendalam terhadap dalil
itu dalam hukum yang berlaku dan dasar-dasar yang sama dengan itu ternyata dalil
yang menyalahi qiyas zahir itu justru lebih kuat dan oleh karenanya wajib
diamalkan.”
Al-Karkhi
sendiri (seorang pengikut mazhab Hanafi) mendefinisikan istihsan sebagai:
أن يعدل
الإنســان عن أن يحكم في المسألة بمثل ما حكم به في نطائرها إلى خلافه لوجه يقتضي
العدول عن الأول.[6]
“Berpindahnya
manusia (mujtahid) dalam menetapkan hukum terhadap satu
masalah dari hukum yang sebanding dengannya kepada hukum
lain karena ada alasan yang lebih kuat menghendaki perpindahan dari hukum awal
tersebut.”
Al-Sarakhsi
sendiri merumuskan istihsan itu paling tidak mencakup empat hal:
-
ترك القياس والأخذ بما هو أوفق للناس
(meninggalkan qiyas dan mengambil hukum yang lebih sesuai dengan manusia)
-
طلب السهولة في الأحكام فيما يبتلى فيه الخاص والعام
(mencari kemudahan dalam hukum-hukum yang
dihadapi orang banyak atau orang tertentu)
-
الأخذ بالسعة وابتغاء الدعة (mengambil keluasan dan mencari kelegaan)
-
الأخذ بالسمـــــاحة وابتغاء ما فيه الراحة[7] (mengambil yang permisif dan memilih yang di
dalamnya ada ketenangan).
Definisi
istihsan pertama yang berlaku di kalangan ulama Hanafiyah di atas tidaklah
menyalahi sesuatu apapun dan semua ulama sepakat terhadapnya, karena pengertian
“yang terbaik dalam hal ini adalah dia antara dua hal yang kita dapat
menentukan pilihan, karena syara’ telah memberikan hak pilih pada kita.
Contohnya penetapan ukuran mut’ah (pemberian hadiah) dari suami yang
menceraikan isterinya sebelum dicampuri dan sebelumnya belum ditetapkan
maharnya. Memberikan mut’ah itu wajib, yang ukurannya
menurut kemampuan suami dengan syarat harus sesuai dengan “kepatutan”. Tentang
ukuran patut itu sendiri diserahkan kepada apa yang lebih baik berdasarkan
pendapat yang umum.
Dalam definisi kedua
terkandung adanya pembenturan dalil dengan qiyas zahir. Semula ada
prasangka lemah pada dalil itu karena belum diadakan penelitian yang mendalam,
namun setelah diteliti secara mendalam ternyata dalil itu lebih kuat daripada
qiyas. Dalam hal ini dipandang lebih baik menggunakan dalil itu daripada
menggunakan qiyas yang menurut lahirnya kuat. Meninggalkan beramal dengan qiyas
untuk mengamalkan dalil itu disebut “istihsan” menurut ulama Hanafiyah.
Sedangkan definisi yang dikemukakan oleh
Al-Karkhi, pada dasarnya tidak jauh berbeda dari definisi yang kedua. Istihsan
itu menurut Al-Karkhi adalah berpindahnya dari hukum awal kepada hukum yang
lebih kuat, kekuatannya itu adalah karena
“dalil” bukan karena hukumnya (بأن القوة لأدلة لا
للأحكام).[8]
Adapun definisi yang dirumuskan oleh Al-Sarakhsi
dapat disimpulkan bahwa istihsan itu pada hakikatnya dua buah qiyas, pertama
qiyas jali yang lemah pengaruhnya ini disebut dengan qiyas yang
sesungguhnya, kedua qiyas khafi (tersembunyi) namun pengaruhnya kuat,
inilah yang disebut dengan istihsan, artinya qiyas yang diubah menjadi
istihsan. Al-Sarakhsi mendefinisikan istihsan lebih memandang kepada tujuannya,
yakni kemaslahatan dan kemudahan bagi manusia dalam menghadapi berbagai problem
hidupnya.
2.
Istihsan menurut Imam Maliki dan pengikutnya
Menurut Imam Malik sitihsan
adalah:
العمل بأقوى الدليـــــلين ، أو الأخذ بمصلحة جزئية فى مقابلة دليل كلي. فهو
إذن تقديم الاستدلال المرسل على القياس[9]
“Beramal
dengan dalil yang terkuat di antara dua dalil, atau menggunakan kemasahatan
yang bersifat juz’i sebagai pengganti
dalil yang bersifat kulli.”
Ibn Al-Arabi (salah
seorang pengikut Imam Malik) mengemukakan pendapatnya tentang istihsan,
yaitu:
إيثار ترك مقتضى الدليـــل على طريق الاستثنـــاء والترخيص لمعارضة ما يعارض
به في بعض مقتضياته[10]
“Meninggalkan suatu dalil dengan cara pengecualian dan
memakai dalil lain yang
bertentangan dengannya dalam beberapa kasus.”
Imam Malik melihat istihsan itu
sebagai kemaslahatan yang sifatnya juz’i, yang dinilai lebih baik untuk
diambil dan diamalkan ketimbang kemaslahatan yang ada pada hukum sebelumnya.
Sebab hukum awal tersebut tidak atau belum bisa mengaktualkan maqashid al-Syari’ah
yang sifatnya memaslahatkan umat dalam kehidupannya. Sedangkan Ibnu al-Arabi
menilai bahwa istihsan untuk hukum yang dipalingkan tersebut hanyalah bersifat
pengecualian untuk kasus tertentu. Sedangkan untuk kasus boleh jadi masih bisa
untuk dipakai.
3.
Istihan Menurut Ulama Uhul mazhab
Hanbali
a)
Al-Thufi dan bukunya Mukhtashar:
الاستحسان أنه العدول بحكم المسألة عن نظائرها لدليل شرعي خاص[11]
“beralihnya mujtahid dalam
menetapkan hukum terhadap suatu masalah dari yang sebanding dengannya itu
karena adanya dalil syara’ yang lebih khusus.”
b)
Ibnu Qudamah dalam bukunya Raudhah
an-Nazhirah merumuskan istihsan ke dalam tiga makna:
-
العدول بحكم المسألة عن نظائرها لدليل خاص من كتاب أو سنة (beralihnya
mujtahid dalam menetapkan hukum terhadap suatu masalah dari yang sebanding
dengannya itu karena adanya dalil yang khusus dalam al-Qur’an atau sunnah).
-
ما يستحسنه المجتهد بعقله (sesuatu yang dipandang
baik oleh mujtahid menurut akalnya).
-
دليل ينقدح في نفس المجتهد لا يقدر على التعبير عنه [12] (dalil yang muncul dalam diri mujtahid
yang ia tidak mampu untuk menjelaskannya).
Definisi
istihsan pertama yang berlaku di kalangan ulama Hanbali di atas dapat
disimpulkan bahwa seorang mujtahid tidak menetapkan hukum sebagaimana yang
ditetapkan pada kasus yang sejenis dengan kasus itu karena ia mengikuti dalil
lain dari al-Qur’an dan sunnah yang dinilai lebih khusus dan lebih cocok untuk
diamalkan. Definisi pertama ini tidak paling cocok menurut mazhab Hanbali dan
yang lainnya.
Adapun definisi kedua menilai
bahwa istihsan itu merupakan penetapan sebuah hukum melalui penilaian akal
semata. Dari definisi ini mungkin akan timbul keberatan dari ulama lain, karena
apa yang dianggap oleh mujtahid lebih baik menurut akalnya itu belum tentu
lebih baik menurut kenyataannya. Hal ini mungkin bisa disesuaikan dengan firman
Allah: “Boleh Jadi kamu membenci sesuatu, Padahal ia Amat baik bagimu, dan
boleh Jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, Padahal ia Amat buruk bagimu; Allah
mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 216). Artinya,
apa yang dipandang baik oleh akal manusia, belum tentu itu baik pada
hakikatnya.
Terhadap definisi ketiga Al-Subki
sendiri memberi komentar, bahwa jika dalil yang muncul dalam
diri mujtahid itu nyata adanya, maka cara tersebut dapat diterima dan tidak ada
kesukaran dalam menjelaskan dalil itu, akan tetapi bila dalil itu tidak benar
atau menyalahi tujuan syara’, maka istihsan seperti itu ditolak. Al-Ghazali
juga meragukan definisi yang ketiga ini dengan alasan bahwa sesuatu yang tidak
bisa diungkapkan tentu tidak akan bisa ditentukan apakan dia hanya sebuah
khayalan atau kenyataan. Ketika dia sudah nyata mesti disesuaikan dengan dalil
sayara’ yang ada untuk bisa ditentukan apakan dia merupakan dalil yang sah atau
tidak. Oleh karena itu kalau dia hukum yang tidak bisa ditetapkan bagaimana
kebenarannya, lalu bagaimana bisa diketahui dia dalil yang bisa dipakai atau
tidak?[13]
4.
Abdul Wahhab Khallaf mendefinisikan istihsan
sebagai:
عدول المجتهد
عن مقتضى قياس جليّ إلى مقتضى قياس خفي، أو عن حكم كلي إلى حكم استـثنائي لدليل انقدح فى اعقله رجح لديه هذ
العدول.[14]
“Berpalingnya seorang mujtahid dari tuntutan qiyas jali (nyata) kepada tuntutan qiyas Khafi (samar), atau dari hukum kulli (umum) kepada hukum yang sifatnya istisna’i
(pengecualian), karena menurut pandangan mujtahid itu adalah dalil (alasan)
yang lebih kuat yang menghendaki perpindahan tersebut.”
Dari pengertian tersebut jelas bahwa istihsan ada
dua, yaitu sebagai berikut:
a)
Menguatkan Qiyas Khafi atas qiyas jali dengan
dalil. Misalnya, menurut ulama Hanafiyah bahwa wanita yang sedang haid boleh
membaca Al-Qur’an berdasarkan istihsan, tetapi haram menurut qiyas.
·
Qiyas: wanita yang sedang haid itu di
qiyaskan kepada orang junub dengan illat sama-sama tidak suci. Orang junub
haram membaca Al-Qur’an, maka orang yang Haid haram membaca Al-Qur’an.
·
Istihsan : haid berbeda dengan junub karena
haid waktunya lama. Oleh karena itu, wanita yang sedang haid dibolehkan membaca
Al-Qur’an, sebab bila tidak, maka haid yang panjang itu wanita tidak memperoleh
pahala ibadah apapun, sedang laki-laki dapat beribadah setiap saat.
b)
Pengecualian sebagai hukum kulli dengan
dalil.[15] Misalnya, jual beli salam
(pesanan) berdasarkan istihsan diperbolehkan. Menurut dalil kulli, syariat
melarang jual beli yang barangnya tidak ada pada waktu akad. Alasan istihsan
ialah manusia berhajat kepada akad seperti itu dan sudah menjadi kebiasaan
mereka
Dari definisi
yang dikemukakan ulama ushul dari kalangan Hanafiyah, Malikiyah, Hanabilah di
atas dapat disimpulkan bahwa istihsan menurut terminologi ulama ushul yang
menyatakan istihsan ini sebagai sebuah dalil syara’ adalah beralihnya dari
hukum yang telah ada dalil syara’nya kepada hukum yang lain karena adanya dalil
syara’ lain yang mengharuskan pemalingan ini, dalil syara’ yang mengharuskan
perpalingan ini disebut dengan itihsan.
Pada
hakikatnya istihsan itu adalah keterkaitan dengan penerapan ketentuan
hukum yang sudah jelas dasar dan kaidahnya secara umum baik dari nash, ijma
atau qiyas, tetapi ketentuan hukum yang sudah jelas ini tidak dapat
diberlakukan dan harus dirubah karena berhadapan dengan persoalan yang khusus
dan spesifik.
Dengan demikian,
Istihsan pada dasarnya adalah ketika seorang mujtahid lebih cenderung dan
memilih hukum tertentu dan meninggalkan hukum yang lain disebabkan satu hal
yang dalam pandangannya lebih menguatkan hukum kedua
dari hukum yang pertama. Artinya, persoalan khusus yang seharusnya
tercakup ada ketentuan yang sudah jelas, tetapi karena tidak memungkinkan dan
tidak tepat diterapkan, maka harus berlaku ketentuan khusus sebagai
pengecualian dari ketentuan umum atau ketentuan yang sudah jelas. Alasannya
adalah karena dengan cara itulah si mujtahid menganggapnya sebagai cara terbaik
yang lebih banyak mendatangkan kemaslahatan dan lebih menjauhkan kesulitan bagi
umat.
B.
Macam-macam Istihsan
Istihsan dipandang dari berbagai
segi banyak macamnya. Hal ini dapat dilihat dari segi dalil yang ditinggalkan
dan dalil yang dijadikan gantinya, dan adakalanya dari segi sandaran atau dasar
yang diikutinya saat beralih dari qiyas.
1) Dilihat dari segi dalil yang
ditinggalkan dan dalil yang dijadikan gantinya istihsan terbagi kepada tiga:
a) Berpindah dari apa yang dituntut
oleh qiyas zahir (jali) kepada yang dikehendaki oleh qiyas
khafi. Artinya pentarjihan qiyas Khafi (yang
tersembunyi) atas qiyas jali (nyata) karena ada suatu dalil.
Contoh:
Fuqaha Hanafiyah menyebutkan, bahwa seorang pewakaf apabila mewakafkan sebidang
tanah pertanian, maka masuk pula secara otomastis hak pengairan (irigasi), hak
air minum, hak lewat ke dalam wakaf, tanpa harus menyebutkannya, berdasarkan
istihsan.
Menurut
qiyas, semuanya itu tidak termasuk kecuali bila terdapat nash yang
menyebutkannya sebagaimana jual beli. Segi istihsan ialah: bahwasanya yang
menjadi tujuan dari wakaf adalah pemanfaatan sesuatu yang diwakafkan kepada
mereka. Pemanfaatan tanah pertanian tidak
akan ada kecuali dengan meminum airnya, saluran airnya, dan jalannya. Oleh
karena itu, hal-hal tersebut juga termasuk dalam wakaf meskipun tanpa
menyebutkannya. Karena tujuan tersebut tidak akan terealisir kecuali dengan
hal-hal itu, sebagaimana sewa menyewa.
Qiyas yang
nyata adalah menyamakan wakaf dengan jual beli, karena masing-masing dari wakaf
dan jual beli merupakan pengeluaran hak milik dari pemiliknya. Sedangkan qiyas
yang khafi menyamakan wakaf ini dengan
sewa-menyewa, karena masing-masing dari keduanya dimaksudkan untuk dimanfaatkan. Oleh karena itu pengairan, air
minum, dan jalan masuk di dalam wakaf tanah, tanpa harus menyebutkannya.
b) Berpindah dari apa yang dituntut oleh nash yang umum kepada hukum
yang bersifat khusus.
Contoh: tidak memotong tangan pencuri di waktu
paceklik, yang menurut pemahaman umum terhadap ayat al-Qur’an (QS. Al-Maidah:
37) apabila seorang melakukan pencurian dan memenuhi syarat untuk dikenakan
hukuman potong tangan, maka berlaku baginya hukuman potong. Namun, bila
pencurian itu dilakukan pada masa paceklik, maka hukuman potong tangan yang
bersifat umum itu tidak diberlakukan, karena dalam kasus ini berlaku hukum
khusus.
c)
Pengecualian juziyyah (kasuistik)
dari suatu hukum kulli (umum) dengan adanya suatu dalil.
Contoh: Syara’ melarang seseorang
memperjualbelikan atau mengadakan perjanjian tentang sesuatu barang yang belum
ada wujudnya, pada saat jual beli dilakukan. Hal ini berlaku untuk seluruh macam jual
beli dan perjanjian yang disebut hukum kulli. Tetapi syara’ memberikan rukhshah
(keringanan) kepada pembelian barang dengan kontan tetapi barangnya itu akan
dikirim kemudian, sesuai dengan waktu yang telah dijanjikan, atau dengan
pembelian secara pesanan (salam). Keringanan yang demikian diperlukan
untuk memudahkan lalu-lintas perdagangan dan perjanjian. Pemberian rukhshah
kepada salam itu merupakan pengecualian (istitsna) dari hukum kulli dengan
menggunakan hukum juz’i, karena keadaan memerlukan dan
telah merupakan adat kebiasaan dalam masyarakat.
2)
Ditinjau dari segi sandaran atau dalil yang menjadi
dasar dalam peralihan dari qiyas, maka istihsan ada enam macam:[16]
a)
Itihsan yang sandarannya nash. Dalam
bentuk ini ketentuan umum dan qiyas tidak digunakan dan untuk selanjutnya yang
digunakan adalah nash yang mengatur pengecualian itu. Seperti, menghukumkan
tetap sah puasa orang yang makan atau minum karena terlupa. Hal ini
berlandaskan kepada hadits Nabi saw: “Siapa saja yang makan atau minum karena
lupa, maka janganlah ia berbuka, karena itu merupakan rizki yang dianugerahkan
Allah.” Imam Abu Hanifah berkomentar terhadap kasus ini: “Andaikata tiada nash
yang tidak membatalkan puasa lantaran makan dan minum karena lupa, tentulah
saya memandang batal puasa itu karena sudah rusak satu rukunnya yaitu menahan
diri dari segala yang merusak puasa”.
b)
Istihsan yang sandarannya Ijma’.
Yaitu meninggalkan keharusan menggunakan qiyas pada suatu persoalan karena ada
ijma’. Hal ini terjadi karena ada fatwa mujtahid atas suatu peristiwa yang
berlawanan dengan pokok atau kaidah umum yang ditetapkan, atau para mujtahid
bersikap diam dan tidak menolak apa yang dilakukan manusia, yang sebenarnya
berlawanan dengan dasar-dasar pokok yang ditetapkan. Misalnya, ketetapan ijma’ tentang sahnya akad istihshna’(
pesanan ). Menurut qiyas semestinya akad itu batal sebab barang yang diakadkan
belum ada. Akan tatapi, masyarakat seluruhnya telah melakukannya, maka hal itu
dipandang sebagai ijma’ atau urf am (tradisi) yang dapat mengalahkan dalil
qiyas.
c)
Itihsan yang sandarannya adalah urf
(adat). Yaitu penyimpangan hukum yang berlawanan dengan ketentuan qiyas, karena
adanya urf yang sudah yang sudah dipraktikkan dan dikenal baik dalam kehidupan
masyarakat. Misalnya, dalam kasus pemandian umum. Menurut ketentuan kaedah
umum, jasa pemandian umum itu harus jelas berapa lama seseorang mandi dan
berapa jumlah air yang dipakai, akan tetapi apabila hal ini dilakukan maka akan
menyulitkan orang banyak. Oleh sebab itu secara istihsan boleh mempergunakan
jasa pemandian umum sekalipun tanpa menentukan jumlah air dan lama waktu yang
dipakainya, karena sudah berlaku umum dalam masyarakat.
d)
Istihsan karena darurat. Yaitu istihsan yang disebabkan
karena adanya dlarurat (terpaksa) karena adanya suatu masalah yang mendorong
mujtahid untuk meninggalakan dalil qiyas. Seperti apabila saksi-saksi yang telah
meninggal atau yang jauh dari tempat atau karena tidak sanggup menghadiri
sidang majlis, padahal menurut asal hukum kesaksian itu harus yang melihat
dengan mata kepala sendiri, dibolehkan menggunakan kesaksian orang lain.
e)
Istihsan yang sandarannya adalah
qiyas khafi, yang pengaruhnya terhadap kemaslahatan lebih tinggi
dibanding qiyas jali. Contoh:
sisa minum burung elang, gagak, dan sebagainya adalah suci dan halal
diminum. Hal ini ditetapkan melalui sitihsan. Menurut qiyas jali sisa
minum binatang buas seperti anjing dan burung-burung buas adalah haram diminum
karena sisa minuman yang telah bercampur dengan air liur binatang itu karena
langsung meminum dengan mulutnya diqiyaskan kepada dagingnya. Menurut qiyas
khafi bahwa burung buas itu berbeda mulutnya dengan mulut binatang buas. Mulut
biantang buas terdiri dari daging yang haram dimakan, sedang mulut burung buas
merupakan paruh yang terdiri dari tulang atau zat tanduk, dan tulang dan zat
tanduk bukan merupakan najis. Karena itu sisa minum burung buas itu tidak
bertemu dengan daging dan air liurnya karena diantarai oleh paruhnya.
f)
Istihsan yang sandarannya maslahah.
Misalnya, kebolehan dokter melihat aurat wanita dalam proses pengobatan.
Menurut kaidah umum seseorang dilarang melihat aurat orang lain. Tapi, dalam
keadaan tertentu seorang harus membuka bajunya untuk didiagnosa penyakitnya.
Maka untuk kemaslahatan orang tersebut, menurut kaidah istihan seorang dokter
dibolehkan melihat aurat wanita yang berobat kepadanya.
3)
Ulama ushul dari kalangan malikiyah
dikenal pula istihsan yang dalam prakteknya dinamai dengan istislah.
Dari hal ini mereka membagi istihsan kepada tiga macam:[17]
a)
Meninggalkan dalil yang biasa
digunakan untuk beramal dengan urf (kebiasaan). Misalnya, seseorang bersumpah
tidak akan memakan daging, lalu ia memakan daging ikan, maka ia tidak dinamakan
melanggar sumpah meskipun ikan itu dalam al-Qur’an termasuk dalam daging. hal
ini terlihat dalam firman Allah: ومن كل تأكلون لحما
طريا (dan dari semua yang
kamu makan berupa daging yang lembut). Alasannya adalah karena dalam urf
yang berlaku dalam ucapan sehari-hari, ikan tidak termasuk daging.
b)
Meninggalkan dalil yang biasa
digunakan, dan beramal dengan cara lain karena pertimbangan kemaslahatan
manusia. Misalnya, tanggungjawab mitra dari tukang yang membantu memperbaiki
suatu barang yang diperbaikinya itu rusak di tangannya. Berdasarkan qiyas, ia
tidak perlu mengganti karena kerusakan barang itu di waktu ia membantu bekerja.
Namun berdasarkan istihsan ia harus mengganti barang tersebut demi menjaga
kemaslahatan, yaitu memelihara dan menjaga harta orang laian.
c)
Meninggalkan dalil yang biasa
dilakukan untuk menghindarkan kesulitan dan memberi kemudahan kepada umat.
Misalnya, adanya sedikit kelebihan dalam menakar sesuatu dalam ukuran yang
bnayak. Tindakan ini dibenarkan meskipun menurut ketentuan yang berlaku kalau
menakar itu harus tepat (pas) sesuai standar takaran yang berlaku.
C.
Kehujjahan Istihsan
Ada tiga
golongan ulama dalam menanggapi istihsan ini apakah merupakan dalil hukum syara’ atau tidak:
Pertama, jumhur
ulama ushul Fiqh dari mazhab Maliki, Hanafi, dan sebagian besar Hanbali
menyatakan bahwa istihan adalah salah satu dalil syara’ yang menetapkan suatu
hukum yang berlawanan dengan apa yang diwajibkan oleh qiyas, atau umunya nash.[18] Terutama Hanafiyah sangat
mengutamakan istihsan yang dianggap lebih kuat dan memiliki dalil, serta
meninggalkan qiyas. Hal ini terlihat dalam ungkapan Abu Hanifah: نستحسن هذا، وندع القيـــاس[19] (kami
memakai istihsan untuk hal ini, dan meninggalkan qiyas). Ucapan Abu Hanifah
ini diperkuat oleh Abu Al-Khattab dengan ungkapannya : “Saya menolak istihsan
tanpa delil, dan menerimanya apabila ada dalil yang jelas dan meninggalkan
qiyas”.[20]Abu Hanifah
banyak menetapkan hukum dengan istihsan, tetapi ia tidak pernah menjelaskan pengertian dan rumusan
dari istihsan yang dilakukannya itu. Oleh karena itu dia dikatakan menetapkan
hukum hanya menurut kemauannya saja tanpa memakai metode. Asal sudah dipandang
baik sudah bisa menjadi dasar penetapan hukum, karena demikianlah arti yang
ditunjukkan oleh kata isthsan itu.
Banyak fuqaha yang tidak mengetahui hakikat istihsan yang dipraktekkan oleh Abu Hanifah, dan
karena itu menurut Husain Hamid Hassan, berpegangnya Abu Hanifah kepada isthsan
menjadi sumber kritikan terhadapnya. Malah sampai kepada mencelanya sebagai
orang yang tidak mengetahui fiqh dan meragukan kewarakannya.[21]
Setelah timbul kritikan-kritikan
itu, maka para sahabat dan murid Abu Hanifah berusaha menjelaskan pengertian dan rumusan istihsan yang banyak
dilakukan oleh imam mereka. Di antara mereka adalah Imam As-Syarkhasi, yang mengarang sebuah kitab terkenal yang
menjadi rujukan bagi pengikut mazhab Hanafi, bernama “Ushul al-Syarkhasi”.
Mereka berusaha menjelaskan bahwa sesungguhnya isthsan itu tidak keluar
dari dalil-dalil syarak. mereka mengatakan bahwa hakikat
istihsan adalah dua macam qiyas. Pertama, qiyas jaly tapi lemah
pengaruhnya, inilah yang dinamakan dengan qiyas. Kedua, qiyas khafi tapi
pengaruhnya kuat, inilah yang dinamakan dengan istihsan, oleh karena itu dalam
dua hal ini yang dipandang adalah pengaruhnya, bukan jelas atau tidaknya qiyas.[22] Pengaruh
yang lebih kuat itulah yang menyebabkan Hanafiyah, Malikiyah dan sebagain Hanabilah
lebih mengutamakan istihsan daripada qiyas. Atau dengan perkataan lain,
pengutamaan istihsan daripada qiyas semata-mata didasarkan kepada pengaruh
hukumnya, bukan didasarkan pada khafi atau jali-nya bentuk qiyas.
Bagi
Hanafiyah dan Malikiyah pada hakekatnya istihsan bukanlah sumber hukum yang
berdiri sendiri, karena sesungguhnya hukum istihsan bentuk yang pertama dari
kedua bentuknya berdalilkan qiyas yang tersembunyi yang mengalahkan qiyas yang
jelas, karena adanya beberapa faktor yang memenangkannya yang membuat tenang
hati si Mujtahid. Sedangkan bentuk yang kedua dari istihsan ialah bahwa
dalilnya adalah maslahat, yang pengecualian kasuistis dari hukum kulli
(umum), dan ini juga disebut dengan segi istihsan.
Adapun dalil yang dipegang oleh ulama yang meyakini
istihsan sebagai dalil hukum adalah:
-
فَبَشِّرْ
عِباَدِيَ الَّذِيْنَ يَسْتَمِعُوْنَ الْقَوْلَ فَيَتَّبِعُوْنَ أَحْسَنَهُ....
”Berilah
kabar gembira kepada hamba-hambaKu yang mendengarkan Perkataan lalu mengikuti apa yang paling
baik di antaranya....” (QS. Az-Zumar: 18)
-
وأمر قومك
يأخذوا بأحسنـــــها.....
“Suruhlah kaummu (Musa) berpegang kepada (perintah-perintahnya) dengan
sebaik-baiknya...”(QS. Al-A’raaf: 145)
-
يريد الله بكم اليسر ولا يريد بكم العسر..
“Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan
tidak menghendaki kesukaran bagimu...”(Qs. Albaqarah: 185)
-
ما رآه المسلمون حسنا فهو عند الله حسن
“ Sesuatu yang di
pandang baik oleh umat islam, maka ia dihadapan allah juga baik” (HR. Ahmad ibn Hanbal)
Kedua, kelompok
yang menolak istihsan sebagai dalil syara’ dan menyatakan bahwa istihsan adalah
menetapkan hukum dengan keinginan hawa nafsu semata. Kelompok yang menolak
istihsan sebagai dalil hukum ini adalah Imam Syafi’i dan pengikutnya, kelompok
zahiriyah, Mu’tazilah, dan Ulama Syi’ah qathibah.[23] Imam
Syafi’i merupakan ulama yang sangat
keras mengeritik isthsan tersebut. Kritikannya ini terlihat jelas dalam
ungkapannya: من استحسن فقد شرع “Siapa yang memakai istihsan maka
telah membuat sendiri hukum syara’..”[24]. Oleh karena
itu bagi Syafi’i memakai istihsan dalam istinbath hukum adalah haram
apabila dia bertentangan dengan khabar yang ada di dalam al-Qur’an dan hadits.[25] Dalam buku
Risalah Ushuliyah karangan Imam Syafi’i dinyatakan: “perumpamaan orang yang
melakukan istihsan adalah seperti orang yang melakukan shalat yang menghadap ke
suatu arah yang menurut sitihsan bahwa arah itu adalah arah ka’bah, tanpa ada
dalil yang diciptakan pembuat syara’ untuk menentukan arah ka’bah itu.” Setelah
Imam Syafi’i mengkritik Hanafi dan pengikutnya, lalu diikuti oleh Ulama dari
ahli Theologi, mereka mengatakan bahwa bahwa istihsan adalah dalil yang rusak dan tidak bisa digunakan sebagai metode mengistinbathkan
hukum.[26]
Adapun
landasan mereka mengkritik dan menolak dalil istihsan adalah:[27]
1)
Tidak boleh membuat sebuah hukum
kecuali dengan nash atau dengan yang diqiyaskan dengan nash, karena hal terebut
berarti membuat hukum syara’ dengan keinginan hawa nafsu. Allah Swt berfirman: وأن احكم بينهم بما أنزل الله ولا تتبع أهوائهم (dan hendaklah kamu memutuskan perkara
di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu
mengikuti hawa nafsu mereka...(QS. Al-Maidah: 49 ).
2)
Sesungguhnya Nabi Muhammad saw.
tidak pernah berfatwa dengan menggunakan istihsan, akan tetapi dia menunggu
hingga wahyu turun, walaupun sekiranya dia beristihsan itu adalah benar, karena
dia berbicara bukan karena kehendak hawa nafsu.
3)
Istihsan itu dasarnya adalah akal,
akal itu ada yang pintar ada yang bodoh, kalau sekiranya seseorang boleh
beristihsan, berarti setiap orang boleh menetapkan hukum syara’ yang baru untuk
dirinya sendiri.
Jika
diperhatikan alasan-alasan yang dikemukakan kedua pendapat itu serta pengertian
istihsan menurut mereka masing-masing, akan jelas bahwa istihsan menurut
pendapat mazhab Hanafi berbeda dari
istihsan menurut pendapat mazhab Syafi’i dan dan lainnya. Menurut mazhab Hanafi
istihsan itu semacam qiyas, dilakukan karena ada suatu kepentingan, bukan
berdasarkan hawa nafsu, sedang menurut mazhab Syafi’i dan dan yang lainnya
istihsan itu timbul karena rasa kurang enak, kemudian pindah kepada rasa yang
lebih enak.
Seandainya
istihsan itu diperbincangkan dengan baik, kemudian ditetapkan pengertian yang
disepakati, tentulah perbedaan pendapat itu dapat dikurangi. Karena itu
Al-Syathibi dalam bukunya Al-Muwaafaqaat menengahi kedua kubu ini dalam
ungkapannya: “Orang yang menetapkan hukum berdasarkn istihsan tidak boleh
berdasarkan rasa dan keinginannya semata, akan tetapi haruslah berdasarkan
hal-hal yang diketahui bahwa hukum itu sesuai dengan tujuan Allah swt.
menciptakan syara’ dan sesuai pula
dengan kaidah-kaidah syara’ yang umum.”
kelompok ketiga,
menyatakan bahwa istihsan memang merupakan dalil hukum syara’, akan tetapi dia
bukan dalil yang berdiri sendiri, akan tetapi dia menopang kepada dalil syara’
yang lain, karena kerjanya adalah menguatkan qiyas yang ada atau beramal dengan
urf, atau dengan maslahah. Pendapat ini dipegang oleh Al-Syaukani. Hal ini
terlihat dalam ungkapannya: “Istihsan merupakan dalil syara’ yang tidak berdiri
sendiri, yang pada dasarnya tidak memiliki manfaat, karena dia hanya menegaskan
dalil yara’ yang telah ada sebelumya, ketika dia keluar dari dalil syara’ yang
ada itu maka dia tidak bisa dijadikan dalil hukum lagi.”[28]
Menurut hemat
penulis walaupun istihsan bukan
suatu dalil yang berdiri sendiri, namun ia menyingkapkan jalan yang ditempuh
sebagian ulama mujtahid dalam menetapkan dalil-dalil syara’ dan
kaedah-kaedahnya ketika dalil-dalil itu bertentangan dengan kenyataan yang
berkembang dalam masyarakat. Hal ini untuk menghindari kesulitan dan kemudaratan serta menghasilkan kemanfaatan dengan cara
menetapkan dasar-dasar syariat dan sunber-sumbernya.
D. Relevansi Istihsan di Masa Kini
dan Mendatang
Seperti yang telah dijelaskan bahwa istihsan itu digunakan oleh sekelompok
ulama karena dalam menghadapi suatu kasus pada keadaan tertentu merasa kurang
puas jika menggunakan pendekatan yang berlaku secara konvesional, seperti
dengan menggunakan qiyas jali atau dalil umum menurut cara-cara biasa
dilakukan. Dengan cara konvesional itu, ketentuan hukum yang dihasilkan kurang
(tidak) mendatangkan kemaslahatan yang diharapkan dari penetapan hukum. Dalam
keadaan demikian, si mujtahid menggunakan dalil atau pendekatan yang
konvesional tersebut. Pendekatan yang mereka lakukan adalah dalam bentuk
ijtihad yang mereka lakukan adalah dalam bentuk ijtihad yang disebut istihsan.
Istihsan adalah suatu dalil yang terkuat menunjukkan bahwa hukum-hukum
Islam adalah suatu hukum yang berkembang dalam masyarakat yang diistilahkan
sebagai fiqh waq’i bukan suatu fiqh khayali yang merupakan fiqh bayangan
sebagai yang digambarkan oleh sebagian oarang yang tidak mengetahui hakikat
fiqh Islam atau ingin menjauhkan manusia daripadanya.
Dewasa ini dan lebih-lebih lagi pada masa yang akan datang permasalahan
kehidupan manusia akan semakin berkembang dan semakin komplek, permasalahan itu
harus dihadapi umat islam yang menuntut adanya jawaban penyelesaiannya dari
segi hukum islam. Kalau hanya semata mengandalkan pendekatan dengan cara atau
metode lama (konvesional) yang digunakan oleh ulama terdahulu untuk
menghadapinya, mungkin tidak akan mampu menyelesaikan semua permasalahan
tersebut dengan baik (tepat). Karena itu, si mujtahid harus mampu menemukan
pendekatan atau dalil alternatif di luar pendekatan lama. Oleh karena itu
kecendrungan untuk menggunakan istihsan akan semakin kuat karena kuatnya
dorongan dari tantangan persoalan hukum yang berkembang dalam kehidupan manusia
yang semakin cepat berkembang dan semakin kompleks.[29]
Dengan menggunakan dasar istihsan, kita dapat menghadapi masalah perbankan
yang telah menjadi masalah yang sangat penting dalam masalah ekonomi.
Permasalahannya ialah Jika seseorang
mendepositokan uangnya di bank, bolehkah ia menerima bunga depositonya? Apakah
bunga deposito itu sama. dengan riba? Ketika kita bertanya kepada ulama yang,
dari golongan apa saja. Ada tiga kemungkinan jawaban: boleh, tidak boleh, tidak
tahu. Anehnya bila golongan yang ditanya --Muhammadiyah, Persis, NU jawabannya
satu. Semua golongan itu sepakat (ijma') untuk menyimpan uangnya di bank dan
memanfaatkan bunganya, tentu saja bagi kepentingan umat Islam. Bila diminta
fatwa lisan atau tulisan, verba non acta, sekali lagi jawabannya akan beragam.
Kebanyakan di antara umat Islam masih belum mendapat jawaban yang tegas dan
memuaskan.
Ulama yang ditanya itu memang mengalami kesulitan
dalam menetapkan status hukumnya. Deposito dan bunganya tidak dikenal di zaman
Rasulullah saw. Mereka tidak menemukan nash --teks al-Qur'an atau Hadits-- yang
menerangkan ketentuan hukum untuk deposito. Ada memang ketentuan tentang riba,
tapi apakah riba sama dengan bunga deposito? Kesulitan
seperti itu telah dihadapi para ulama sepanjang sejarah. Yang kita sebut
syari'at pada mulanya hanya menyangkut masalah keluarga, perdagangan yang
sederhana dan hukum pidana. Ketika Islam bertemu dengan peradaban-peradaban
lain, apa yang tercakup dalam syari'at menjadi lebih luas. Permasalahan lain
yang yang membutuhkan
istihsan pada saat ini seperti Arisan, Koperasi, Transaksi lewat ATM, menanam investasi, Demokrasi dan
sebagainya.
III. KESIMPULAN
Dari uraian diatas maka penulis menyimpulkan bahwa jangan
tergesa-gesa mengambil kesimpulan bahwa Abu Hanifah, Malik, dan sahabat-sahabat
beristihsan tanpa menggunakan dalil-dalil yang syara’, tetapi sebenarnya mereka
tidak menerangkan dalil-dalil yang telah mereka maksudkan, dan apa yang
sebenarnya mereka kehendaki dengan pendapat itu. Hal ini tidaklah begitu mengherankan, karena
masa itu belum lagi terjadi masa penta’rifan istilah-istilah baru. Masa
itu adalah masa ijtihad dan mereka itu diakui oleh masyarakat sebagai ahli-ahli
ijtihad.
Imam Syafi’i salah seorang ulama yang amat
keras mengkritik dan menolak pengistinbathan hukum dengan istihsan, bahkan
beliau “mengharamkannya” apabila bertentangan dengan nash. Namun ini bukan
berarti membatalkan dalil pemakaian dalil hukum dengan istihsan. Karena setelah
diteliti lebih lanjut, ternyata istihsan yang difahami Imam Syafi’i sangat
berbeda dengan apa yang diinterpretasikan orang yang memakai dalil istihan ini.
Imam Syafi’i memandang bahwa orang yang beristihsan adalah membuat sebuh hukum
dengan keinginan hawa nafsu dan mencari yang enak-enak saja dalam hidup. Namun
bagi hanafiyah, Malikiyah, dan sebagian besar Hanabilah istihsan bukanlah
seperti apa yang digambarkan oleh Syafi’i. istihsan bukanlah pengistinbathan
hukum dengan hawa nafsu, akan tetapi istihsan penetapan sebuah hukum dengan
dalil, adakalanya berdasarkan nash, ijma’, qiyas yang dipalingkan, dan lainnya,
dan menurut menganggap mereka istihsan adalah cara terbaik yang lebih
banyak mendatangkan kemaslahatan dan lebih menjauhkan kesulitan bagi umat.
Imam
Hanafi tercatat paling banyak menggunakan istihsan dalam beberapa fatwanya. Ia
berpendapat dalam posisi istihsan ini, melakukan istihsan lebih utama dari pada
melakukan qiyas, pun pengambilan dalil yang lebih kuat diutamakan dari dalil
yang lemah.
[1] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, (Ciputat: PT. Logos Wacana
Ilmu), cet. III, hal. 304. Lihat lebih lanjut perbedaan pemahaman ini di bagian
“kehujjahan Istihsan.”
[2] Wahbah Al-Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami, (Damaskus: Dar
al-Fikr, 2006), Jilid. II, cet. 14, hal 18.
[3] ‘Abdul Wahhab Khallaf, mashaadir
at-Tayri’ al-Ilami fi ma la nassha fih, (Kuwait, Dar al-Qalam,
1972), cet. III, hal. 69
[4] Al-Sarakhsi, Ushul al-Sarakhsi, ditahqiq oleh Abu al-Wafa al-Afghani, (Beyrut: Dar al-Kutub
al-'Ilmiyyah, 2005), cet. ke 2, hal. 200
[6] Muhammad Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh, (t.t, Dar al-Fikr al-‘Arabi,
1958), hal.263, lihat juga Abdul Wahhab Khallaf, mashaadir,op.cit, hal.
70 dan Ushul Fiqh al-Islami,op.cit,
hal. 19.
[8] Syamsuddin Muhammad ibn Muflah Al-Muqdisi al-Hanbali, Ushul Fiqh,
(Riyadh: Maktabah al-‘Abikah, 1999), cet. I, jilid. IV, hal. 1464
[12] Muhammad al-Amin ibn
Muhammad al-Mukhtar al-Jakini al-Syanqithi, Mudzakkirah Ushul al-Fiqh ‘Alaa
Raudhah an-Naazir, (Makkah al-Mukarramah: Dar ‘Ilm al-Fawaid, 1462
H), cet. I, hal. 159. Lihat juga Abdul
Wahab Khallaf, Ibid, hal. 70
[13] Imam Al-Ghazali, Al-Mushtashnifi Min ‘Ilm al-Ushuli, ditahqiq
oleh Muhammad Sulaiman Al-Asyqari, ( Beirut: Muassasah Al-Risalah,1997)
, cet. I, hal. 413
[14] Abdul Wahab
Khalaf, “Ilmu Ushul al-fikih (Kairo: Maktabah
Al-Dakwah al-Islamiyah , 1991), cet.
VIII, hal.79
[18] Abdul Wahab Khallaf, Ushul…., op.cit. hal. 29
[21] Husain Hamid Hassan, Nazhaariyat Al-Mashlahal fi al-fiqh
al-islami, (t.t, Dar an-Nahdhah al-‘Arabiyyah, t.th), hal. 585
[24] Ibid, hal. 17
[25] Muhammad Idris Al-Syafi’i, Al-Risalah, ditahqiq dan disyarah
oleh Ahmad Muhammad Syakir, (t.t, t.tp, 1309 H), hal. 504