Sabtu, 28 Desember 2013

Mujtahid



  1. Pendahuluan
Fikih sebagai suatu ilmu tentang hukum Islam, ia tetap tumbuh dan berkembang, sejalan dengan perkembangan zaman, karena berkaitan dengan segala perbuatan orang-orang mukallaf, baik ibadahnya maupun muamalahnya. Akan tetapi kehidupan dan perkembangan fikih ini tergantung pada kegiatan dan ijtihad para fuqoha’ dalam setiap masa.
Menurut Dr. Muhammad bin Alwi al-Maliki, Tasri’ Islam itu berdiri di atas ijtihad, karena nash-nash hukum yang ada dalam al-Qur’an dan sunnah, terbatas sekali seperti yang dikatakan oleh Imam Ibnu al-Qayyim dalam kitabnya I’lamu al-Muwaqi’in bahwa jumlah ayat al-Qur’an yang merupakan dasar-dasar hukum, lebih enam ribu ayat, dan jumlah hadis yang merupakan dasar hukum ada lima ratus hadis yang tersebar dalam ribuan hadis. Jadi dasar-dasar hukum dari al-Qur’an dan sunnah ada lima puluh ribu enam ratus nash, dan itulah menjadi dasar tasyri’ Islam yang selalu memberikan petunjuk bagi umat Islam hingga kini.
Al-Qur’an telah mengajarkan kaum muslimin, agar mereka berijtihad, dan mengistinbath, atau meminta petunjuk dari ilmu-ilmu-wan dan ahli pikir mereka, sebagaimana firman Allah SWT dalam surat an-Nisa’ ayat 83, yang artinya:
“Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan atau ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. Dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasulullah dan ulil amri diantara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya, (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (rasul dan ulil amri)”.
Yang dimaksud ulil amri dalam ayat di atas adalah ilmuwan Muslim dan ahli pikir. Ayat tersebut merupakan tantangan yang jelas kepada mujtahid untuk berijtihad dan mengistinbath. Oleh sebab itu penulis ingin membahas tentang mujtahid berdasarkan menurut pandangan ulama mulai dari pengertian, syarat-syarat dan tingkatannya.
  1. Mujtahid
1.      Pengertian
Secara bahasa kata mujtahid merupakan isim fa’il dari kata اجتهد – يجتهد – اجتهدا فهو مجتهد[1]  artinya bersungguh-sunguh melakukan sesuatu. Seadangkan secara istilah ulama ushul berbeda pendapat dalam merumuskan pengertian mujtahid di antaranya :
Menurut Imam Ghazali:
بدل المجتهد وسعه فى طلب العلم بأحكام الشريعة
Mujtahid: Mencurahkan maksimal kemampuannya, dalam mencari ilmu tentang hukum syari’at.
Menurut Ibnu Hajib dan Ibnu Subki:
إستفراغ الفقيه الوسع لتحصيل ظن بحكم شرعي
Adanya ahli fiqh mencurahkan kemampuannya untuk memperoleh suatu pengertian  ‘dhanni’ pada hukum syar’i.
Menurut Abu Zahrah :
بذل الفقيه وسعه فى إستنباط الاحكام العملية من ادلتها[2]
Pengerahan kemampuan untuk mengistinbathkan hukum yang bersifat praktis dari dalil-dalil yang terperinci (tafshili).
Menurut Ibnu Humam :
بذل الطاقة من الفقيه فى تحصيل حكم شرعي عقليا كان أو نقليا قطعيا كان أو ظنيا
Mencurahkan kemampuan dari ahli fiqh untuk memperoleh hukum syar’i, baik aqli, maupun naqli, qot’I atau dzanni.[3]
Menurut Dr. Nadiyah Syarif al-Umari,[4] defenisi keempat inilah yang lebih sempurna, karena:
a.       Nampak jelas dan terang
b.      Ia bersifat umum, meliputi ijtihad dalam masalah qat’iya dan lainnya
c.       Ia meliputi ijtihad kelompok dan ijtihad perorangan
d.      Kalau ada kritikan kepadanya, sangat sedikit dibanding dengan defenisi-defenisi lainnya.[5]
Menurut al-Imam Muhammad Abu Zahrah, bahwa sebagian ulama ushul memberikan batasan ijtihad atas dua bagian yaitu mencurahkan semaksimal kemampuan untuk:
a.       Mengistinbatkan hukum syar’i
Ijtihad yang pertama inilah yang merupakan ijtihad sempurna, yang khusus bagi sekelompok ulama yang mengarahkan perhatiannya untuk mengenalkan hukum-hukum furu’ yang praktis dari berbagai dalilnya yang terperinci. Menurut sebagian ulama, ijtihad semacam ini telah terputus sejak beberapa zaman yang lampau. Namun menurut kelompok Hanabilah, bahwasanya ijtihad semacam ini, tetap ada dalam suatu masa, maka dalam suatu masa harus ada seorang mujtahid yang mencapai tingkat tersebut.
b.      Penyesuaian dan penerapannya;
Ulama yang ada dalam suatu masa ialah: ulama yang mengeluarkan dalil-dalil hukum dan menyesuaikannya dengan istinbath mujtahid sebelumnya dan menguraikan lebih luas masalah-masalah yang belum diterangkan oleh mujtahid sebelumnya.[6]
         
Orang yang memberikan semua daya/ kemampuan untuk mengetahui hukum syarak dengan jalan zhan (mendapatkan sesuatu berdasarkan murajihnya).
Ketika mujtahid melakukan ijtihad, al-Amidi sangat menekankan adanya usaha maksimal dari mujtahid, sehingga seorang yang melakukan ijtihad tersebut tidak mungkin berpikir lebih dari yang telah ia hasilkan itu.[7] Hal ini untuk menutup kemungkinan terjadinya ijtihad yang dilakukan secara tergesa-gesa dan lalai yang menciptakan hukum seenaknya tanpa memeras kemampuan terlebih dahulu untuk meneliti dalilnya, memperdalam pemahamannya dan mengambil konklusi dari dalil-dalil tersebut serta memperbandingkan dalil yang saling bertentangan.
Setelah melihat beberapa defenisi dan pandangan ulama tentang mujtahid, penulis menyimpulkan bahwa :
a.       Mujtahid itu adalah seorang ahli fikih.
b.      Para mujtahid (ahli fikih) tersebut dalam berijtihad telah mengerahkan kemampuannya secara maksimal untuk melahirkan hukum.
c.       Metode yang mereka gunakan adalah melalui proses penarikan sebuah hukum (istinbathi) tidak hanya berdasarkan tebakan.
d.      Lapangan mujtahid dalam berijtihad adalah hukum-hukum syara’ yang bersifat praktis dan zhanni.
2.      Peranan Mujtahid
Menurut Abu Ishak al-Syathibi, bahwasanya posisi seorang mujtahid di tengah-tengah umat, serupa dengan posisi Nabi Muhammad SAW dengan sejumlah urusan yang istimewa, diantaranya adalah:
a.       Mewarisi ilmu syari’ah secara umum, sebagaimana sabda Rasulullah:
إن العلماء ورثة الأنبياء و إن الأنبياء لم يورثوا دينارا ولا درهما و إنما ورثو العلم
Sesungguhnya ulama adalah ahli waris para Nabi dan bahwasanya para Nabi tidak mewariskan uang dinar dan dirham. Hanya saja mereka mewariskan ilmu (H. R. Abu Dawud dan Tirmidzi).
b.      Ia sebagai pengganti Nabi dalam menyampaikan hukum-hukum Islam, sebagaimana sabda Rasulullah SAW:
ألا فليبلغ منكم الشاهد الغائب
Ketahuilah yang hadir diantara kalian hendaklah menyampaikan kepada yang tidak hadir (H. R. al-Bukhari).
Dalam sabda beliau yang lainnya:
بلغوا عني ولو ءاية
Sampaikanlah dariku walaupun satu ayat (sepatah kata).(H.R. al-Bukhari)
c.       Bahwasanya mujtahid itu merupakan muballig dari hukum syar’i atau penafsir dari padannya. Jika ia menerangkan dan menjelaskan hukum syar’i menurut pandangan dan ijtihadnya. Maka dalam hal ini wajib diikuti dan mengamalkan pendapatnya. Inilah makna khilafah yang sebenarnya dari Rasulullah SAW.[8]
3.      Syarat-Syarat
Syarat-syarat yang harus bagi seorang mujtahid ada dua macam yaitu: syarat-syarat umum dan syarat-syarat kelayakan (ahliyah):
1.      Syarat-syarat umum (yang berhubungan dengan kepribadian) ada tiga, yaitu:
a.       Islam, yang meliputi keimanan kepada Allah dengan segala sifat-sifatnya. Beriman kepada Rasulullah SAW dan segala wahyu dan petunjuk-petunjuk yang dibawanya.
b.      Baligh, ini penting karena anak yang belum balig, belum dapat dijadikan sandaran hukum atas kata-katanya, sehingga belum dibebani suatu tanggung jawab (belum mukallaf).
c.       Berakal, karena akal itulah yang merupakan dasar taklifi. Kedua dan ketiga ini, sesuai dengan hadis Rasulullah SAW:
رفع القلم عن ثلاثة : عن النائم حتي يستيقظ و عن الصبي حتى يحتلم و عن المجنون
 حتى يبرأ
“Diangkat kewajiban itu dari tiga macam: dari orang tidur hingga ia bangun, dari anak-anak hingga ia baligh, dari orang gila sehingga ia sembuh” (H. R. Ahmad, abu Dawud dan Al-Hakim).[9]
2.      Syarat-syarat ahliyah (yang berhubungan dengan kemampuan):
a.       Mengetahui nash al-Qur’an dan sunnah, paling kurang yang berkaitan dengan masalah yang dibahasnya;
Al-Qur’an merupakan sandaran utama hukum-hukum Islam dan sumber-sumber pokok bagi ijtihad. Oleh sebab itu harus mengetahui maknanya, baik lughawi, maupun syar’i dan ‘illat yang berkaitan dengan hukum-hukum, serta tujuan-tujuan yang akan diwujudkan oleh syara’, untuk mendatangkan mashlahat bagi manusia dan mencegah dari mafsadah.
Selain daripada itu, seorang mujtahid harus mendalami ‘ulumul Qur’an misalnya:
1)      Asbab an-Nuzul
2)      Nasikh dan Mansukh
3)      Makkiyah dan Madaniyah
4)      Al-‘Am dan al-Khash
5)      Muthlaq dan Muqayyad
6)      Muhkam dan Mutasyabih
Apabila seorang mujtahid tidak mengetahui ‘ulumul Qur’an, maka tidak dibenarkan menetapkan suatu hukum halal atau haram sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Syafi’i bahwa tidak berhak seseorang mengatakan sesuatu; ini haram atau halal, kecuali dengan pengetahuan tentang al-Kitab, Sunnah, dan ijma’. Pengetahuan tentang Kitabullah membutuhkan pengetahuan tentang bahasa Arab dan demikian juga untuk mengetahui hukum-hukum Kitab Allah, fardhunya, adabnya, ibahanya, nasikh mansuknya, ‘am dan khasnya.[10]
Para ulama sepakat mensyaratkan bagi mujtahid, mengetahui ayat-ayat hukum, namun mereka berbeda pendapat tentang jumlah ayat yang harus diketahui.
Menurut al-Ghazali dan Ibnu Qudamah ayat hukum itu berjumlah lima ratus ayat sedangkan Ibnu al-Mubarak mengatakan bahwa jumlahnya Sembilan ratus ayat.
Menurut al-Qarafi, bahwa pembatasan ayat-ayat hukum hanya lima lima ratus ayat, tidak benar karena istinbath hukum itu jika diteliti, hampir tiada satu ayatpun yang tidak mengandung hukum. Bahwasanya ayat-ayat kisah lebih banyak, tujuannya untuk memberikan pengajaran, karena setiap ayat yang menyebut siksaa atau celaan atas suatu perbuatan adalah suatu dalil keharaman perbuatan itu. Demikian juga ayat-ayat yang menyebutkan pujian atau pahala atas suatu perbuatan adalah suatu dalil atas tuntutan (perintah) atas perbuatan itu yang bersifat wajib atau sunnah.
Seorang mujtahid tidak disyaratkan menghafal seluruh ayat al-Qur’an, tetapi alangkah baiknya jika ia menghafal seluruh ayat al-Qur’an, kerena memudahkan bagi mujtahid mengetahui hukum-hukumnya dan menemukan dikala ia membutuhkannya.[11]
Sedangakan tentang sunnah, para ulama sepakat bahwa sunnah Rasulullah SAW qauliyah, fi’liyah dan taqririyah wajib diketahui oleh seorang mujtahid. Sunnah ini berfungsi menafsirkan mujmalnya, menerangkan mubhamnya, mengkaitkan mutlaknya, dan mentakhsiskan umumnya.
Mengetahui sunnah berarti mengetahui seluk beluk hadis, yang meliputi: pengetahuan tentang arti mufradatnya, tarkibnya, makna dilalah kalimatnya, dan mengetahui pula ilmu mushtalahnya untuk mengenal maratib (tingkatan) hadis; kuat atau lemah sanadnya, shahih atau dhaif, dan nasikh serta mansukhnya.
Para ulama ushul sepakat pula, bahwa disyaratkan bagi mujtahid, mengetahui hadis-hadis yang berhubungan dengan hukum-hukum.
Adapun batas jumlah hadis hukum yang harus diketahui mereka berbeda pendapat.
Menurut Ibnu al-Qayyim, bahwasanya hadis-hadis yang merupakan pokok-pokok hukum, berkisar pada lima ratus dan ia dirinci dalam empat ribu hadis.[12]
Menurut Abu Zahrah tidak disyaratkan adanya mujtahid itu menghafal dengan baik seluruh hadis yang berhubungan dengan hukum, kecuali mengetahui pokok masalahnya dan cara menemukannya. Dan juga harus mengetahui hal-ihwal sanadnya secara umum.[13]
b.      Mengetahui ijma’ yang sudah ada, agar dia tidak berfatwa menentangnya, karena ijma’ dianggap bernilai yakin
Mengetahui tentang letak ijma’ dan mengetahui hukum-hukum yang tetap pada prinsip ini adalah dharuri bagi mujtahid. Dengan mengetahui ini ia tidak akan berijtihad pada masalah yang telah disepakati dan memang tiada ijma’ pada masalah yang telah disepakati hukumnya. Para ulama telah sepakat pada masalah ini akan tetapi mereka berbeda pendapat tentang ukuran yang wajib diketahui. Diantara mereka ada yang mensyaratkan agar mengetahui seluruh masalah yang telah disepakati para sahabat sampai masa mujahid itu.
Menurut Abu Zahrah ia wajib pula mengetahui perbedaan pendapat fuqoha’, seperti: perbedaan fiqh ahli al-Madinah dengan fiqh ahli al-Iraq, dengan sistemnya masing-masing. Dengan demikian ia mampu membandingkan antara yang shahih dari yang lainnya dan yang dekat al-Qur’an dan Sunnah dengan yang jauh dari padanya.[14]
c.       Menguasai bahasa arab, sehingga dapat menafsirkan ayat dan hadis
Para ulama ushul sepakat bahwa pengetahuan tentang bahasa Arab adalah dharuri (wajib muthlaq), bagi setiap orang mujtahid, karena al-Qur’an yang merupakan sumber utama syariat Islam adalah bahasa arab.[15]
Bahasa Arab yang dimaksud adalah: ilmu qawaid lughah (nahwu dan sharaf), dan ilmu balaghah yang meliputi (ma’ani bayan, dan badi’), sehingga dengan demikian ia dapat membedakan antara makna zhahir dan khafi; antara hakiki dan majazi; dan antara isytirak dan syabah, sehingga memungkinkan untuk mengetahui maksud setiap kalimat melalui dilalahnya, baik teksnya, maupun isyarahnya, ataupun kandungannya.[16]
d.      Mengerti ilmu ushul fikih
Wajib bagi mujahid mengetahui ilmu ushul fikih yakni kaedah umum pada ushul fikih, untuk mengenal hakikat hukum, dalil-dalil, dan syarat-syaratnya, aspek dilalah dan aspek tarjihnya diantara dalil, ketika terjadi kontradiksi dan mengetahui nasikh mansukh, syarat-syarat nasakh dan cara mengeluarkan hukum daripadanya.
Ia juga wajib mengetahui qiyas dan syarat-syaratnya, rukun-rukunnya, dan lain-lain sebagainya dari berbagai prinsip yang dibutuhkan oleh seorang mujtahid, untuk istinbath (menarik kesimpulan hukum).[17] Pengetahuan tentang qiyas ini meliputi : pengetahuan tentang hukum ashal yang ditetapkan nash, sehingga dapat dihubungkan dengan masalah yang baru dengan mengkaji ‘illatnya, dan mengetahui kaidah-kaidah qiyas itu sendiri, serta metode penggunaannya.
Oleh sebab itu Imam Syafi’i berkata: bahwa ijtihad itu adalah mengetahui berbagai aspek qiyas dan metode-metodenya; bahkan ia menetapkan bahwa ijtihad itu ialah qiyas. Oleh sebab itu sorang mujtahid harus mengetahui jalannya qiyas yang benar.[18]
e.       Mengetahui nasikh dan mansukh
Imam ghazali dan Fakhru al-Razi menambahkan, agar mengetahui pula ilmu menggunakan dalil aqli (logika/manthiq). Tapi Jumhur tidak mensyaratkannya.[19]
f.       Mengetahui maksud hukum
Kita telah mengetahui, bahwa tujuan hukum dalam syari’at Islam adalah rahmat kepada hambanya dan itulah puncak risalah Nabi Muhammad SAW sebagai firman Allah dalam S. al-Anbiya’; 107:
و ما أرسلنك إلا رحمة للعلمين
“dan kami tidak mengutusmu (muhammad) melainkan rahmat bagi alam semesta”.
Sesungguhnya rahmat itu menghendaki adannya syari’at itu ditegakkan atas tiga tingkat masalah, yaitu: 1) dharuriya, 2) hajiyat, 3) tahsiniyat. Disamping itu ia juga menghendaki pengangkatan keberatan, pencegahan kesempitan, dan memilih yang mudah dari pada yang sukar.
Menurut Imam Syathibi, ijtihad itu dibina atas dua dasar, yaitu:
Memahami maksud (tujuan Syari’ah) secara sempurna. Bahwasanya maksud syariah itu dibina dengan ketentuan, bahwa masalah Islam itu adalah tujuan hakiki. Tidak dipandang sebagai keinginan nafsu atau sesuai dengan mukallaf.
Kemampuan mengistinbath, melalui pengetahuan basa Arab, dan mengetahui hukum-hukum al-Qur’an, sunnah, dan ijma’, serta perbedaan p-endapat fuqoha’, dan berbagai aspek qiyas, karena semuanya ini merupakan alat untuk mengistinbath hukum.[20]
Perlunya seorang mujtahid mengetahui tujuan dari pada Syari’ atau pembuat hukum dengan jelas adalah suatu kemestian karena dalam memahami dan menerapkan hukum yang dikandung oleh nash terhadap persoalan hukum yang dihadapi harus selalu mengacu kepada maksud dari pembuat hukum (Allah SWT), yaitu membawa kemashlahatan dan menolak kemafsadatan. Oleh karena itu seorang mujtahid harus jeli mempertimbangkan kemashlahatan dan kemudharatan bagi umat Islam.
g.      Niat yang baik dan aqidah yang benar
Allah SWT hanya meletakkan hikmah didalam hati orang yang ikhlash, sehingga ia mudah mendapat petunjuk kepada kebaikan dan menghindari maksiat dan mungkar. Syari’at Islam adalah suatu cahaya yang tidak dapat dimiliki, kecuali orang-orang yang menghadapinya dengan hati ikhlash. Adapun orang-orang yang rusak akidahnya, maka ia melakukan sesuatu atas bujukan hawa nafsunya, sehingga ia tidak mampu menghasilakan buah pikiran yang kuat; karena niat yang salah, mengarahkan pikiran yang salah.
Para Imam mujtahidin telah mewariskan kitab-kitab fikih sebagai tuntunan bagi generasi-generasi sepeninggal mereka, semua ulama terebut masyhur terlebih dahulu dengan kejujuran dan ketinggian akhlaknya, sebelum terkenal sebagai fuqaha’. Mereka berijtihad semata-mata mencari kebenaran, mereka tidak ta’ashub dengan pendapat mereka, mereka sering mengatakan: “pendapat kami betul ia juga mungkin salah, sedangkan pendapat lain salah, tetapi mungkin ia benar”.[21]
Khudari Bek menambahkan syarat mujtahid dengan dua syarat lagi yaitu harus bersifat adil dan mempunyai pengetahuan yang sangat luas tentang hukum-hukum syara’, baik yang terdapat dalam al-Qur’an maupun pada sunnah, ijma’, dan qiyas.[22]
4.      Tingkatan Mujtahid
a.       Mujtahid Muthlaq atau Mustaqil (mujtahid fi asy-syar’i)
Ia mengeluarkan hukum-hukum langsung dari al-Qur’an dan sunnah kemudian ia melakukan qiyas dan sebagainya. Ia tidak mengikut kepada orang lain, baik dalam ushul maupun dalam furu’. Oleh sebab itulah ia disebut dengan mujtahid muthlaq atau mujtahid mustaqil atau mujtahid kamil (mujtahid yang sempurna).
Yang termasuk dalam tingkatan ini adalah:
1.       Fuqaha’ as-Shahaba.
2.      Fuqaha’ at-Tabi’in diantaranya seperti : Sa’id bin Musayyab dan Ibrahim an-Nakha’i.
3.      Fuqaha’ tabi’ at-Tabi’in (fuqaha’ al-Mujtahidun), seperti: Ja’far Shadiq dan ayahnya (Muhammad al-Baqir).
4.      Abu Hanifah, Malik, Syafi’i, dan Ahmad bin Hanbal.
5.      Al-Auzai, Laits bin Sa’ad, Sufyan Ats-Tsauri, dan Abu Tsaur Ibarahim al-Bagdadi.
b.      Mujtahid Muntasib
Mujtahid yang mengikuti salah satu  mazhab atau mengikuti cara berpikirnya. Ia memiliki kemampuan seperti mujtahid mutlak, tetapi ia tidak menyusun kaidah dan system untuk dirinya sendiri, melainkan ia memakai system dan metode yang telah ditempuh oleh mujtahid muthlaq (gurunya), meskipun ia tidak mengikuti dalil dan hukumnya, tetapi mengutip banyak kata-katanya.
Diantara mujtahid yang termasuk dalam tingkatan ini adalah:
1.      Mazhab Hanafi: Abu Yusuf, Muhammad bin al-Hasan, dan Zufar.
2.      Mazhab Maliki: Ibnu al-Qasim, Asyhab, dan As’ad Ibnu al-Firat.
3.      Mazhab Syafi’i: Al-Buwaith, al-Muzani, dan ar-Rabi’i.
4.      Mazhab Hanbali: Al-Atsaram dan al-Maruzi.
c.       Mujtahid Mazhab
Ia berijtihad dalam masalah-masalah yang tiada nashnya dari Imam Mazhab, atau dapat disebutkan dengan: mujtahid takhri aw mukharrij. Diantara mereka yang termasuk dalam tingkatan ini adalah:
1.      Mazhab Hanafi: al-Karakhi, at-Thahawi, al-Hulwani, al-Bazdawi, dan lain-lainnya.
2.      Mazhab Maliki: al-Abhari, dan Ibnu Abi Zaid al Kairuwani.
3.      Mazhab Syafi’i: Abu Ishaq al-Syairazi, Ibnu Jarir at-Thabari, dan Ibnu Khuzaimah.
4.      Mazhab Hanbali:  al-Qadhi Abu Ya’la, al-Qadhi Abu ali Bin Abi Musa.
d.      Mujtahid Murajjih
Orang yang mampu mentarjih suatu pendapat bagi Imam Mazhab atas pendapat lain, atau menguatkan antara pendapat Imam Mazhab dengan pendapat muridnya, atau imam lain. Mujtahid ini juga dinamakan dengan Mujtahid al-Fatawa. Diantara orang yang tergolong dalam tingkatan ini adalah:
1.      Mazhab Hanafi: al-Kaduri dan al-Marginani.
2.      Mazhab Maliki: al-Allamah Khalil.
3.      Mazhab Syafi’i: ar-Rafi’ dan an-Nawawi.
4.      Mazhab Hanbali: al-Qadhi Alauddin al-Muradi dan Mahfudz Bin Ahmad al-Kaluzani.
e.       Mujtahid Muqarin aw Mujtahid Muwazzin aw Mujtahid Mustadillin.
Orang yang membanding-bandingkan antara pendapat dengan riwayat.[23]  Artinya ulama yang punya kemampuan untuk mentarjih pendapat imamnya tetapi hanya sekedar membanding-bandingkan dengan pendapat mazhabnya kemudian berdalil dengan apa yang dianggapnya lebih kuat untuk diamalkan.
f.       Tingkatan pemeliharaan mazhab (Huffaz)
Ulama yang dalam tingkatan ini, melaksanakan pemeliharaan mazhab, menjelaskan yang samar, dan memisahkan antara pendapat yang lebih kuat dari pada yang kuat saja dan yang lemah; demikian pula yang rajih dan yang marjuh. Akan tetapi lemah dalam dalam menetapkan dalillnya, dan memperluas kiasannya.
Diantara ulama yang termasuk dalam tingkatan ini ialah: ulama-ulama yang menyusun matan fikih yang mu’tabarah dari ulama mutaakhirin, seperti pengarang al-Khanz, pengarang ad-Durrul Mukhtar. Mereka tidak menukilkan dalam kitab mereka pendapat yang tertolak atau riwayat yang lemah.[24]
g.      Tingkatan orang-orang yang bertaqlid (Muqallid):
Tingkatan inilah yang paling rendah dari semua tingkatan sebelummnya. Mereka hanya mampu membaca dan memahami kitab-kitab fikih, tetapi tidak mampu mentarjih diantara berbagai pendapat dan riwayat, serta tidak mengetahui ilmu tentang tarjih dan membedakan tingkatan tarjih itu.
Menurut Ibnu ‘Abidin, mereka tidak memisahkan antara yang kurus dan yang gemuk, tidak membedakan antara yang kiri dan yang kanan, mereka hanya mengumpulkan pendapat itu seperti orang yang mengumpulkan kayu api pada malam hari, bahaya besar bagi orang yang mengikuti mereka.[25]
5.      Hukum Seorang Mujtahid Bertaqlid Terhadap PendapSat Mujtahid lain
Ulama ushul berbeda pendapat tentang kebolehan seorang mujtahid bertaqlid terhadaap pendapat mujtahid yang lain. Menurut pendapat Syafi’I beoleh bertaqlid atau mentarjih pendapat mujtahid lain. Namun menurut kebanyakan ulama seorang yang mempunyai ilmu untuk melakukan ijtihad tidak boleh bertaqlid terhadap pendapat mujtahid lain. Hali ini dikemukakan oleh sebaigan ulama Hanafiyah. Adapun alasan ulama yang tidak membolehkannya antara lain :[26]
1.      Seandainya dibolehkan seorang sahabat bertaqlid terhadap mujtahid lain maka tentunya dibolehkan juga seorang bertaqlid terhadap mujtahid lain. Oleh karena itu, sebelumnya orang tersebut terlebih dahulu  wajib menganalisa atau melakukan ijtihad terhadap pendapat itu, walaupun akhirnya mempunyai kesimpulan yang sama.
2.      Apabila pendapat seorang mujtahid berbeda dengan pendapat mujtahid yang kedua yang lebih kuat, maka dia boleh meninggalkan pendapat mujtahid yang pertama. Dan memakai pendapat yang kedua yang lebih kuat.
3.      Seorang mujtahid tidak selamanya sempurna dan mungkin saja ketika saat yang lain tidak cocok lagi dengan kondisi, oleh karena itu perlu adanya usaha mujtahid lain untuk menyempurnakan pendapat tersebut.[27]
4.      Sebagian mujtahid pada masa sahabat hanya meruju’ pendapat dengan cara mendengar tanpa mengetahui dalil-dalilnya. Sehingga ketika dalil tersebut diteliti ternyata dalil yang  tidak kuat maka boleh saja ijtihad tersebut disempurnakan oleh pendapat yang lain, tentunya melalui usaha mujtahid berikutnya.
Dari keempat pendapat tersebut, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa seorang mujtahid tidak langsung dapat dikatakan lebih unggul dari mujtahid yang lain, baik dilihat dari kepribadiannya ataupun kemampuannya. Oleh karena tidak wajar kirannya seorang yang mempunyai keilmuan yang cukup untuk melakukan ijtihad bertaqlid dengan pendapat mujtahid lain, karena boleh jadi pendapatnya lebih unggul dari pendapat mujtahid sebelumnya.
C.    Kesimpulan
Mujtahid adalah ulama yang mengarahkan perhatiannya untuk mengenalkan hukum-hukum furu’ yang praktis dari berbagai dalilnya yang terperinci. Dengan melihat dan menyesuaikannya dengan istinbath mujtahid sebelumnya dan menguraikan lebih luas masalah-masalah yang belum diterangkan oleh mujtahid sebelumnya.
Yang dicari dan dicapai dengan usaha ijtihad itu hanyalah dugaan kuat tentang hukum Allah, bukan hukum Allah itu sendiri, karena hanya Allah yang Maha Mengetahui maksudnya secara pasti, kalau sudah ada firman Allah  yang jelas dan pasti tentang hukum, maka tidak perlu lagi ada ijtihad lagi.
Hukum yang dikeluarkan atau yang dihasilkan oleh mujtahid adalah hukum Allah bukan kalam Allah. Sedangkan dalil yang beleh diijtihadkan adalah dalil zhonni bukan dalil qoth’i.


[1] Kholid Ramadhan Hasan, Mu’jam ushul al-Fiqh, (Masr : Dar  ar-Raudha, 1998), h. 249
[2] Muhammad Abu Zahra, Ushul al-Fiqh, (Masr : Dar al-Fikr al-‘Arabi, 1958), h. 379
[3] Wahbah al-Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islamy, (Beirut : Dar al-Fikr, 1986), Juz II, h. 1038
[4] Nadiyah Syarif al-Umari, al-Ijtihadu fi al-Islami, (Beirut: Muassasatu ar-Risalah, 1981), h. 25
[5] Ibid., h. 27-28
[6] Muhammad Abu Zahrah, Loc. Cit
[7] Muhammad al-Zuhaili, Marja’ al-Ulum al-Islamiyah, (Damsyik : Dar al Ma’rifah, t.th), h. 588
[8] Abu Ishaq al-Syatibi, al-Muwafaqot, IV, (Beirut: Dar al-Fikr, 1341), h. 140-141
[9] Assayuthi, Jami’ as-Shaghir, (Bandung: PT. Ma’arif, t.th),h. 24
[10] Nadiyah Syarif, Op. Cit., h. 83
[11] Ibid., h. 70
[12] Abu Zahra, Op. Cit., h. 383
[13] Loc.Cit
[14] Ibid., h. 384
[15] Nadiyah Syarif, Op. Cit. h. 64
[16] Ibid., h. 83
[17] Nadiya Syarif Op. Cit., h. 91
[18] Abu Zahrah, Op. Cit., h. 385
[19] Abdul Hay ‘Uzzab, Buhuts fi ushul al-Fiqh, (Kairo : Maktabah al-Azhar, t.th), 206
[20] Asy-Syathibi, Op.Cit, h. 56
[21] Abu Zahrah, Op. Cit., h. 388
[22] Kudari Bek, Ushul fiqh, (tt. : Dar al-Fikr, 1981), h. 132
[23] Abu Zahrah, Op. Cit., h. 396
[24] Ibid., h. 397
[25] Ibid., h. 398
[26] Al-Bashari al-Mu’tazili, al-Mu’tamad Ushul Fiqh, Juz II, (Libanon : Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, t.th), h. 366-367
[27] Asy-Syatibi, Op. Cit., Juz III, h. 144

Tidak ada komentar:

Posting Komentar