- Pendahuluan
Fikih sebagai suatu ilmu tentang
hukum Islam, ia tetap tumbuh dan berkembang, sejalan dengan perkembangan zaman,
karena berkaitan dengan segala perbuatan orang-orang mukallaf, baik ibadahnya
maupun muamalahnya. Akan tetapi kehidupan dan perkembangan fikih ini tergantung
pada kegiatan dan ijtihad para fuqoha’ dalam setiap masa.
Menurut Dr. Muhammad bin Alwi
al-Maliki, Tasri’ Islam itu berdiri di atas ijtihad, karena nash-nash hukum
yang ada dalam al-Qur’an dan sunnah, terbatas sekali seperti yang dikatakan
oleh Imam Ibnu al-Qayyim dalam kitabnya I’lamu al-Muwaqi’in bahwa jumlah
ayat al-Qur’an yang merupakan dasar-dasar hukum, lebih enam ribu ayat, dan
jumlah hadis yang merupakan dasar hukum ada lima ratus hadis yang tersebar
dalam ribuan hadis. Jadi dasar-dasar hukum dari al-Qur’an dan sunnah ada lima
puluh ribu enam ratus nash, dan itulah menjadi dasar tasyri’ Islam yang selalu
memberikan petunjuk bagi umat Islam hingga kini.
Al-Qur’an telah mengajarkan kaum
muslimin, agar mereka berijtihad, dan mengistinbath, atau meminta petunjuk dari
ilmu-ilmu-wan dan ahli pikir mereka, sebagaimana firman Allah SWT dalam surat
an-Nisa’ ayat 83, yang artinya:
“Dan
apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan atau ketakutan,
mereka lalu menyiarkannya. Dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasulullah
dan ulil amri diantara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui
kebenarannya, (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (rasul dan ulil amri)”.
Yang dimaksud ulil amri
dalam ayat di atas adalah ilmuwan Muslim dan ahli pikir. Ayat tersebut
merupakan tantangan yang jelas kepada mujtahid untuk berijtihad dan
mengistinbath. Oleh sebab itu penulis ingin membahas tentang mujtahid
berdasarkan menurut pandangan ulama mulai dari pengertian, syarat-syarat dan
tingkatannya.
- Mujtahid
1. Pengertian
Secara bahasa kata mujtahid
merupakan isim fa’il dari kata اجتهد
– يجتهد – اجتهدا فهو مجتهد[1] artinya
bersungguh-sunguh melakukan sesuatu. Seadangkan secara istilah ulama ushul
berbeda pendapat dalam merumuskan pengertian mujtahid di antaranya :
Menurut Imam Ghazali:
بدل المجتهد وسعه فى طلب
العلم بأحكام الشريعة
Mujtahid: Mencurahkan maksimal kemampuannya,
dalam mencari ilmu tentang hukum syari’at.
Menurut Ibnu Hajib dan Ibnu Subki:
إستفراغ الفقيه الوسع
لتحصيل ظن بحكم شرعي
Adanya ahli fiqh mencurahkan kemampuannya untuk
memperoleh suatu pengertian ‘dhanni’
pada hukum syar’i.
Menurut Abu Zahrah :
بذل الفقيه وسعه فى إستنباط الاحكام
العملية من ادلتها[2]
Pengerahan
kemampuan untuk mengistinbathkan hukum yang bersifat praktis dari dalil-dalil
yang terperinci (tafshili).
Menurut Ibnu Humam :
بذل الطاقة من الفقيه فى
تحصيل حكم شرعي عقليا كان أو نقليا قطعيا كان أو ظنيا
Mencurahkan kemampuan dari ahli fiqh untuk
memperoleh hukum syar’i, baik aqli, maupun naqli, qot’I atau dzanni.[3]
Menurut Dr. Nadiyah Syarif
al-Umari,[4]
defenisi keempat inilah yang lebih sempurna, karena:
a. Nampak
jelas dan terang
b. Ia
bersifat umum, meliputi ijtihad dalam masalah qat’iya dan lainnya
c. Ia
meliputi ijtihad kelompok dan ijtihad perorangan
d. Kalau
ada kritikan kepadanya, sangat sedikit dibanding dengan defenisi-defenisi
lainnya.[5]
Menurut al-Imam Muhammad Abu Zahrah,
bahwa sebagian ulama ushul memberikan batasan ijtihad atas dua bagian yaitu
mencurahkan semaksimal kemampuan untuk:
a. Mengistinbatkan
hukum syar’i
Ijtihad yang pertama inilah yang
merupakan ijtihad sempurna, yang khusus bagi sekelompok ulama yang mengarahkan
perhatiannya untuk mengenalkan hukum-hukum furu’ yang praktis dari berbagai
dalilnya yang terperinci. Menurut sebagian ulama, ijtihad semacam ini telah
terputus sejak beberapa zaman yang lampau. Namun menurut kelompok Hanabilah,
bahwasanya ijtihad semacam ini, tetap ada dalam suatu masa, maka dalam suatu
masa harus ada seorang mujtahid yang mencapai tingkat tersebut.
b. Penyesuaian
dan penerapannya;
Ulama yang ada dalam suatu masa ialah:
ulama yang mengeluarkan dalil-dalil hukum dan menyesuaikannya dengan istinbath
mujtahid sebelumnya dan menguraikan lebih luas masalah-masalah yang belum
diterangkan oleh mujtahid sebelumnya.[6]
Orang yang memberikan semua daya/
kemampuan untuk mengetahui hukum syarak dengan jalan zhan (mendapatkan
sesuatu berdasarkan murajihnya).
Ketika mujtahid melakukan ijtihad,
al-Amidi sangat menekankan adanya usaha maksimal dari mujtahid, sehingga
seorang yang melakukan ijtihad tersebut tidak mungkin berpikir lebih dari yang
telah ia hasilkan itu.[7]
Hal ini untuk menutup kemungkinan terjadinya ijtihad yang dilakukan secara
tergesa-gesa dan lalai yang menciptakan hukum seenaknya tanpa memeras kemampuan
terlebih dahulu untuk meneliti dalilnya, memperdalam pemahamannya dan mengambil
konklusi dari dalil-dalil tersebut serta memperbandingkan dalil yang saling
bertentangan.
Setelah melihat beberapa defenisi
dan pandangan ulama tentang mujtahid, penulis menyimpulkan bahwa :
a. Mujtahid
itu adalah seorang ahli fikih.
b. Para
mujtahid (ahli fikih) tersebut dalam berijtihad telah mengerahkan kemampuannya
secara maksimal untuk melahirkan hukum.
c. Metode
yang mereka gunakan adalah melalui proses penarikan sebuah hukum (istinbathi)
tidak hanya berdasarkan tebakan.
d. Lapangan
mujtahid dalam berijtihad adalah hukum-hukum syara’ yang bersifat praktis dan
zhanni.
2. Peranan
Mujtahid
Menurut Abu Ishak al-Syathibi,
bahwasanya posisi seorang mujtahid di tengah-tengah umat, serupa dengan posisi
Nabi Muhammad SAW dengan sejumlah urusan yang istimewa, diantaranya adalah:
a. Mewarisi
ilmu syari’ah secara umum, sebagaimana sabda Rasulullah:
إن العلماء ورثة الأنبياء
و إن الأنبياء لم يورثوا دينارا ولا درهما و إنما ورثو العلم
Sesungguhnya ulama adalah ahli waris para Nabi dan
bahwasanya para Nabi tidak mewariskan uang dinar dan dirham. Hanya saja mereka
mewariskan ilmu (H. R. Abu Dawud dan Tirmidzi).
b. Ia
sebagai pengganti Nabi dalam menyampaikan hukum-hukum Islam, sebagaimana sabda
Rasulullah SAW:
ألا فليبلغ منكم الشاهد
الغائب
Ketahuilah yang hadir diantara kalian hendaklah
menyampaikan kepada yang tidak hadir (H. R. al-Bukhari).
Dalam sabda beliau yang lainnya:
بلغوا عني ولو ءاية
Sampaikanlah dariku walaupun satu ayat (sepatah
kata).(H.R. al-Bukhari)
c. Bahwasanya
mujtahid itu merupakan muballig dari hukum syar’i atau penafsir dari padannya.
Jika ia menerangkan dan menjelaskan hukum syar’i menurut pandangan dan
ijtihadnya. Maka dalam hal ini wajib diikuti dan mengamalkan pendapatnya.
Inilah makna khilafah yang sebenarnya dari Rasulullah SAW.[8]
3. Syarat-Syarat
Syarat-syarat yang harus bagi seorang mujtahid ada
dua macam yaitu: syarat-syarat umum dan syarat-syarat kelayakan (ahliyah):
1. Syarat-syarat
umum (yang berhubungan dengan kepribadian) ada tiga, yaitu:
a. Islam,
yang meliputi keimanan kepada Allah dengan segala sifat-sifatnya. Beriman
kepada Rasulullah SAW dan segala wahyu dan petunjuk-petunjuk yang dibawanya.
b. Baligh,
ini penting karena anak yang belum balig, belum dapat dijadikan sandaran hukum
atas kata-katanya, sehingga belum dibebani suatu tanggung jawab (belum
mukallaf).
c. Berakal,
karena akal itulah yang merupakan dasar taklifi. Kedua dan ketiga ini, sesuai
dengan hadis Rasulullah SAW:
رفع القلم عن ثلاثة : عن
النائم حتي يستيقظ و عن الصبي حتى يحتلم و عن المجنون
حتى يبرأ
“Diangkat kewajiban itu dari tiga macam: dari orang
tidur hingga ia bangun, dari anak-anak hingga ia baligh, dari orang gila
sehingga ia sembuh” (H. R. Ahmad, abu Dawud
dan Al-Hakim).[9]
2. Syarat-syarat
ahliyah (yang berhubungan dengan kemampuan):
a. Mengetahui
nash al-Qur’an dan sunnah, paling kurang yang berkaitan dengan masalah yang
dibahasnya;
Al-Qur’an merupakan sandaran utama
hukum-hukum Islam dan sumber-sumber pokok bagi ijtihad. Oleh sebab itu harus
mengetahui maknanya, baik lughawi, maupun syar’i dan ‘illat yang berkaitan
dengan hukum-hukum, serta tujuan-tujuan yang akan diwujudkan oleh syara’, untuk
mendatangkan mashlahat bagi manusia dan mencegah dari mafsadah.
Selain daripada itu, seorang mujtahid harus
mendalami ‘ulumul Qur’an misalnya:
1) Asbab
an-Nuzul
2) Nasikh
dan Mansukh
3) Makkiyah
dan Madaniyah
4) Al-‘Am
dan al-Khash
5) Muthlaq
dan Muqayyad
6) Muhkam
dan Mutasyabih
Apabila seorang mujtahid tidak
mengetahui ‘ulumul Qur’an, maka tidak dibenarkan menetapkan suatu hukum halal
atau haram sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Syafi’i bahwa tidak berhak
seseorang mengatakan sesuatu; ini haram atau halal, kecuali dengan pengetahuan
tentang al-Kitab, Sunnah, dan ijma’. Pengetahuan tentang Kitabullah membutuhkan
pengetahuan tentang bahasa Arab dan demikian juga untuk mengetahui hukum-hukum
Kitab Allah, fardhunya, adabnya, ibahanya, nasikh mansuknya, ‘am dan khasnya.[10]
Para ulama sepakat mensyaratkan
bagi mujtahid, mengetahui ayat-ayat hukum, namun mereka berbeda pendapat
tentang jumlah ayat yang harus diketahui.
Menurut al-Ghazali dan Ibnu Qudamah
ayat hukum itu berjumlah lima ratus ayat sedangkan Ibnu al-Mubarak mengatakan
bahwa jumlahnya Sembilan ratus ayat.
Menurut al-Qarafi, bahwa pembatasan
ayat-ayat hukum hanya lima lima ratus ayat, tidak benar karena istinbath hukum
itu jika diteliti, hampir tiada satu ayatpun yang tidak mengandung hukum.
Bahwasanya ayat-ayat kisah lebih banyak, tujuannya untuk memberikan pengajaran,
karena setiap ayat yang menyebut siksaa atau celaan atas suatu perbuatan adalah
suatu dalil keharaman perbuatan itu. Demikian juga ayat-ayat yang menyebutkan
pujian atau pahala atas suatu perbuatan adalah suatu dalil atas tuntutan
(perintah) atas perbuatan itu yang bersifat wajib atau sunnah.
Seorang mujtahid tidak disyaratkan
menghafal seluruh ayat al-Qur’an, tetapi alangkah baiknya jika ia menghafal
seluruh ayat al-Qur’an, kerena memudahkan bagi mujtahid mengetahui
hukum-hukumnya dan menemukan dikala ia membutuhkannya.[11]
Sedangakan tentang sunnah, para
ulama sepakat bahwa sunnah Rasulullah SAW qauliyah, fi’liyah dan taqririyah
wajib diketahui oleh seorang mujtahid. Sunnah ini berfungsi menafsirkan mujmalnya,
menerangkan mubhamnya, mengkaitkan mutlaknya, dan mentakhsiskan umumnya.
Mengetahui sunnah berarti
mengetahui seluk beluk hadis, yang meliputi: pengetahuan tentang arti
mufradatnya, tarkibnya, makna dilalah kalimatnya, dan mengetahui pula ilmu
mushtalahnya untuk mengenal maratib (tingkatan) hadis; kuat atau lemah
sanadnya, shahih atau dhaif, dan nasikh serta mansukhnya.
Para ulama ushul sepakat pula,
bahwa disyaratkan bagi mujtahid, mengetahui hadis-hadis yang berhubungan dengan
hukum-hukum.
Adapun batas jumlah hadis hukum
yang harus diketahui mereka berbeda pendapat.
Menurut Ibnu al-Qayyim, bahwasanya
hadis-hadis yang merupakan pokok-pokok hukum, berkisar pada lima ratus dan ia
dirinci dalam empat ribu hadis.[12]
Menurut Abu Zahrah tidak
disyaratkan adanya mujtahid itu menghafal dengan baik seluruh hadis yang
berhubungan dengan hukum, kecuali mengetahui pokok masalahnya dan cara
menemukannya. Dan juga harus mengetahui hal-ihwal sanadnya secara umum.[13]
b. Mengetahui
ijma’ yang sudah ada, agar dia tidak berfatwa menentangnya, karena ijma’
dianggap bernilai yakin
Mengetahui tentang letak ijma’ dan
mengetahui hukum-hukum yang tetap pada prinsip ini adalah dharuri bagi
mujtahid. Dengan mengetahui ini ia tidak akan berijtihad pada masalah yang
telah disepakati dan memang tiada ijma’ pada masalah yang telah disepakati
hukumnya. Para ulama telah sepakat pada masalah ini akan tetapi mereka berbeda
pendapat tentang ukuran yang wajib diketahui. Diantara mereka ada yang
mensyaratkan agar mengetahui seluruh masalah yang telah disepakati para sahabat
sampai masa mujahid itu.
Menurut Abu Zahrah ia wajib pula mengetahui
perbedaan pendapat fuqoha’, seperti: perbedaan fiqh ahli al-Madinah dengan fiqh
ahli al-Iraq, dengan sistemnya masing-masing. Dengan demikian ia mampu
membandingkan antara yang shahih dari yang lainnya dan yang dekat al-Qur’an dan
Sunnah dengan yang jauh dari padanya.[14]
c. Menguasai
bahasa arab, sehingga dapat menafsirkan ayat dan hadis
Para ulama ushul sepakat bahwa
pengetahuan tentang bahasa Arab adalah dharuri (wajib muthlaq),
bagi setiap orang mujtahid, karena al-Qur’an yang merupakan sumber utama
syariat Islam adalah bahasa arab.[15]
Bahasa Arab yang dimaksud adalah:
ilmu qawaid lughah (nahwu dan sharaf), dan ilmu balaghah yang meliputi (ma’ani
bayan, dan badi’), sehingga dengan demikian ia dapat membedakan antara makna
zhahir dan khafi; antara hakiki dan majazi; dan antara isytirak dan syabah,
sehingga memungkinkan untuk mengetahui maksud setiap kalimat melalui
dilalahnya, baik teksnya, maupun isyarahnya, ataupun kandungannya.[16]
d. Mengerti
ilmu ushul fikih
Wajib bagi mujahid mengetahui ilmu
ushul fikih yakni kaedah umum pada ushul fikih, untuk mengenal hakikat hukum,
dalil-dalil, dan syarat-syaratnya, aspek dilalah dan aspek tarjihnya diantara
dalil, ketika terjadi kontradiksi dan mengetahui nasikh mansukh, syarat-syarat
nasakh dan cara mengeluarkan hukum daripadanya.
Ia juga wajib mengetahui qiyas dan
syarat-syaratnya, rukun-rukunnya, dan lain-lain sebagainya dari berbagai
prinsip yang dibutuhkan oleh seorang mujtahid, untuk istinbath (menarik
kesimpulan hukum).[17]
Pengetahuan tentang qiyas ini meliputi : pengetahuan tentang hukum ashal yang
ditetapkan nash, sehingga dapat dihubungkan dengan masalah yang baru dengan
mengkaji ‘illatnya, dan mengetahui kaidah-kaidah qiyas itu sendiri, serta metode
penggunaannya.
Oleh sebab itu Imam Syafi’i berkata:
bahwa ijtihad itu adalah mengetahui berbagai aspek qiyas dan metode-metodenya;
bahkan ia menetapkan bahwa ijtihad itu ialah qiyas. Oleh sebab itu sorang
mujtahid harus mengetahui jalannya qiyas yang benar.[18]
e. Mengetahui
nasikh dan mansukh
Imam ghazali dan Fakhru al-Razi
menambahkan, agar mengetahui pula ilmu menggunakan dalil aqli (logika/manthiq).
Tapi Jumhur tidak mensyaratkannya.[19]
f. Mengetahui
maksud hukum
Kita telah mengetahui, bahwa tujuan
hukum dalam syari’at Islam adalah rahmat kepada hambanya dan itulah puncak
risalah Nabi Muhammad SAW sebagai firman Allah dalam S. al-Anbiya’; 107:
و ما أرسلنك إلا رحمة
للعلمين
“dan
kami tidak mengutusmu (muhammad) melainkan rahmat bagi alam semesta”.
Sesungguhnya rahmat itu menghendaki
adannya syari’at itu ditegakkan atas tiga tingkat masalah, yaitu: 1) dharuriya,
2) hajiyat, 3) tahsiniyat. Disamping itu ia juga menghendaki pengangkatan
keberatan, pencegahan kesempitan, dan memilih yang mudah dari pada yang sukar.
Menurut Imam Syathibi, ijtihad itu dibina atas dua
dasar, yaitu:
Memahami maksud (tujuan Syari’ah)
secara sempurna. Bahwasanya maksud syariah itu dibina dengan ketentuan, bahwa
masalah Islam itu adalah tujuan hakiki. Tidak dipandang sebagai keinginan nafsu
atau sesuai dengan mukallaf.
Kemampuan mengistinbath, melalui
pengetahuan basa Arab, dan mengetahui hukum-hukum al-Qur’an, sunnah, dan ijma’,
serta perbedaan p-endapat fuqoha’, dan berbagai aspek qiyas, karena semuanya
ini merupakan alat untuk mengistinbath hukum.[20]
Perlunya seorang mujtahid
mengetahui tujuan dari pada Syari’ atau pembuat hukum dengan jelas adalah suatu
kemestian karena dalam memahami dan menerapkan hukum yang dikandung oleh nash
terhadap persoalan hukum yang dihadapi harus selalu mengacu kepada maksud dari
pembuat hukum (Allah SWT), yaitu membawa kemashlahatan dan menolak
kemafsadatan. Oleh karena itu seorang mujtahid harus jeli mempertimbangkan
kemashlahatan dan kemudharatan bagi umat Islam.
g. Niat
yang baik dan aqidah yang benar
Allah SWT hanya meletakkan hikmah didalam hati orang
yang ikhlash, sehingga ia mudah mendapat petunjuk kepada kebaikan dan
menghindari maksiat dan mungkar. Syari’at Islam adalah suatu cahaya yang tidak
dapat dimiliki, kecuali orang-orang yang menghadapinya dengan hati ikhlash.
Adapun orang-orang yang rusak akidahnya, maka ia melakukan sesuatu atas bujukan
hawa nafsunya, sehingga ia tidak mampu menghasilakan buah pikiran yang kuat;
karena niat yang salah, mengarahkan pikiran yang salah.
Para Imam mujtahidin telah
mewariskan kitab-kitab fikih sebagai tuntunan bagi generasi-generasi
sepeninggal mereka, semua ulama terebut masyhur terlebih dahulu dengan kejujuran
dan ketinggian akhlaknya, sebelum terkenal sebagai fuqaha’. Mereka berijtihad
semata-mata mencari kebenaran, mereka tidak ta’ashub dengan pendapat mereka,
mereka sering mengatakan: “pendapat kami betul ia juga mungkin salah,
sedangkan pendapat lain salah, tetapi mungkin ia benar”.[21]
Khudari Bek menambahkan syarat
mujtahid dengan dua syarat lagi yaitu harus bersifat adil dan mempunyai
pengetahuan yang sangat luas tentang hukum-hukum syara’, baik yang terdapat
dalam al-Qur’an maupun pada sunnah, ijma’, dan qiyas.[22]
4. Tingkatan
Mujtahid
a. Mujtahid
Muthlaq atau Mustaqil (mujtahid fi
asy-syar’i)
Ia mengeluarkan hukum-hukum
langsung dari al-Qur’an dan sunnah kemudian ia melakukan qiyas dan sebagainya.
Ia tidak mengikut kepada orang lain, baik dalam ushul maupun dalam furu’. Oleh
sebab itulah ia disebut dengan mujtahid muthlaq atau mujtahid mustaqil atau
mujtahid kamil (mujtahid yang sempurna).
Yang termasuk dalam tingkatan ini adalah:
1. Fuqaha’ as-Shahaba.
2. Fuqaha’
at-Tabi’in diantaranya seperti : Sa’id bin Musayyab dan Ibrahim an-Nakha’i.
3. Fuqaha’
tabi’ at-Tabi’in (fuqaha’ al-Mujtahidun), seperti: Ja’far Shadiq dan ayahnya
(Muhammad al-Baqir).
4. Abu
Hanifah, Malik, Syafi’i, dan Ahmad bin Hanbal.
5. Al-Auzai,
Laits bin Sa’ad, Sufyan Ats-Tsauri, dan Abu Tsaur Ibarahim al-Bagdadi.
b. Mujtahid
Muntasib
Mujtahid yang mengikuti salah
satu mazhab atau mengikuti cara
berpikirnya. Ia memiliki kemampuan seperti mujtahid mutlak, tetapi ia tidak
menyusun kaidah dan system untuk dirinya sendiri, melainkan ia memakai system
dan metode yang telah ditempuh oleh mujtahid muthlaq (gurunya), meskipun ia
tidak mengikuti dalil dan hukumnya, tetapi mengutip banyak kata-katanya.
Diantara mujtahid yang termasuk dalam tingkatan ini
adalah:
1. Mazhab
Hanafi: Abu Yusuf, Muhammad bin al-Hasan, dan Zufar.
2. Mazhab
Maliki: Ibnu al-Qasim, Asyhab, dan As’ad Ibnu al-Firat.
3. Mazhab
Syafi’i: Al-Buwaith, al-Muzani, dan ar-Rabi’i.
4. Mazhab
Hanbali: Al-Atsaram dan al-Maruzi.
c. Mujtahid
Mazhab
Ia berijtihad dalam masalah-masalah
yang tiada nashnya dari Imam Mazhab, atau dapat disebutkan dengan: mujtahid
takhri aw mukharrij. Diantara mereka yang termasuk dalam tingkatan ini
adalah:
1. Mazhab
Hanafi: al-Karakhi, at-Thahawi, al-Hulwani, al-Bazdawi, dan lain-lainnya.
2. Mazhab
Maliki: al-Abhari, dan Ibnu Abi Zaid al Kairuwani.
3. Mazhab
Syafi’i: Abu Ishaq al-Syairazi, Ibnu Jarir at-Thabari, dan Ibnu Khuzaimah.
4. Mazhab
Hanbali: al-Qadhi Abu Ya’la, al-Qadhi
Abu ali Bin Abi Musa.
d. Mujtahid
Murajjih
Orang yang mampu mentarjih suatu
pendapat bagi Imam Mazhab atas pendapat lain, atau menguatkan antara pendapat
Imam Mazhab dengan pendapat muridnya, atau imam lain. Mujtahid ini juga
dinamakan dengan Mujtahid al-Fatawa. Diantara orang yang tergolong dalam
tingkatan ini adalah:
1. Mazhab
Hanafi: al-Kaduri dan al-Marginani.
2. Mazhab
Maliki: al-Allamah Khalil.
3. Mazhab
Syafi’i: ar-Rafi’ dan an-Nawawi.
4. Mazhab
Hanbali: al-Qadhi Alauddin al-Muradi dan Mahfudz Bin Ahmad al-Kaluzani.
e. Mujtahid
Muqarin aw Mujtahid Muwazzin aw Mujtahid Mustadillin.
Orang yang membanding-bandingkan
antara pendapat dengan riwayat.[23]
Artinya ulama yang punya kemampuan untuk
mentarjih pendapat imamnya tetapi hanya sekedar membanding-bandingkan dengan
pendapat mazhabnya kemudian berdalil dengan apa yang dianggapnya lebih kuat
untuk diamalkan.
f. Tingkatan
pemeliharaan mazhab (Huffaz)
Ulama yang dalam tingkatan ini,
melaksanakan pemeliharaan mazhab, menjelaskan yang samar, dan memisahkan antara
pendapat yang lebih kuat dari pada yang kuat saja dan yang lemah; demikian pula
yang rajih dan yang marjuh. Akan tetapi lemah dalam dalam menetapkan dalillnya,
dan memperluas kiasannya.
Diantara ulama yang termasuk dalam
tingkatan ini ialah: ulama-ulama yang menyusun matan fikih yang mu’tabarah dari
ulama mutaakhirin, seperti pengarang al-Khanz, pengarang ad-Durrul Mukhtar.
Mereka tidak menukilkan dalam kitab mereka pendapat yang tertolak atau riwayat
yang lemah.[24]
g. Tingkatan
orang-orang yang bertaqlid (Muqallid):
Tingkatan inilah yang paling rendah
dari semua tingkatan sebelummnya. Mereka hanya mampu membaca dan memahami
kitab-kitab fikih, tetapi tidak mampu mentarjih diantara berbagai pendapat dan
riwayat, serta tidak mengetahui ilmu tentang tarjih dan membedakan tingkatan
tarjih itu.
Menurut Ibnu ‘Abidin, mereka tidak
memisahkan antara yang kurus dan yang gemuk, tidak membedakan antara yang kiri
dan yang kanan, mereka hanya mengumpulkan pendapat itu seperti orang yang
mengumpulkan kayu api pada malam hari, bahaya besar bagi orang yang mengikuti
mereka.[25]
5. Hukum
Seorang Mujtahid Bertaqlid Terhadap PendapSat Mujtahid lain
Ulama ushul berbeda pendapat
tentang kebolehan seorang mujtahid bertaqlid terhadaap pendapat mujtahid yang
lain. Menurut pendapat Syafi’I beoleh bertaqlid atau mentarjih pendapat
mujtahid lain. Namun menurut kebanyakan ulama seorang yang mempunyai ilmu untuk
melakukan ijtihad tidak boleh bertaqlid terhadap pendapat mujtahid lain. Hali
ini dikemukakan oleh sebaigan ulama Hanafiyah. Adapun alasan ulama yang tidak
membolehkannya antara lain :[26]
1. Seandainya
dibolehkan seorang sahabat bertaqlid terhadap mujtahid lain maka tentunya
dibolehkan juga seorang bertaqlid terhadap mujtahid lain. Oleh karena itu,
sebelumnya orang tersebut terlebih dahulu
wajib menganalisa atau melakukan ijtihad terhadap pendapat itu, walaupun
akhirnya mempunyai kesimpulan yang sama.
2. Apabila
pendapat seorang mujtahid berbeda dengan pendapat mujtahid yang kedua yang
lebih kuat, maka dia boleh meninggalkan pendapat mujtahid yang pertama. Dan
memakai pendapat yang kedua yang lebih kuat.
3. Seorang
mujtahid tidak selamanya sempurna dan mungkin saja ketika saat yang lain tidak
cocok lagi dengan kondisi, oleh karena itu perlu adanya usaha mujtahid lain
untuk menyempurnakan pendapat tersebut.[27]
4. Sebagian
mujtahid pada masa sahabat hanya meruju’ pendapat dengan cara mendengar tanpa
mengetahui dalil-dalilnya. Sehingga ketika dalil tersebut diteliti ternyata
dalil yang tidak kuat maka boleh saja
ijtihad tersebut disempurnakan oleh pendapat yang lain, tentunya melalui usaha
mujtahid berikutnya.
Dari keempat pendapat tersebut,
maka dapat ditarik kesimpulan bahwa seorang mujtahid tidak langsung dapat
dikatakan lebih unggul dari mujtahid yang lain, baik dilihat dari
kepribadiannya ataupun kemampuannya. Oleh karena tidak wajar kirannya seorang
yang mempunyai keilmuan yang cukup untuk melakukan ijtihad bertaqlid dengan
pendapat mujtahid lain, karena boleh jadi pendapatnya lebih unggul dari
pendapat mujtahid sebelumnya.
C. Kesimpulan
Mujtahid adalah ulama yang mengarahkan
perhatiannya untuk mengenalkan hukum-hukum furu’ yang praktis dari berbagai
dalilnya yang terperinci. Dengan melihat dan menyesuaikannya dengan istinbath
mujtahid sebelumnya dan menguraikan lebih luas masalah-masalah yang belum
diterangkan oleh mujtahid sebelumnya.
Yang dicari dan dicapai dengan usaha
ijtihad itu hanyalah dugaan kuat tentang hukum Allah, bukan hukum Allah itu
sendiri, karena hanya Allah yang Maha Mengetahui maksudnya secara pasti, kalau
sudah ada firman Allah yang jelas dan
pasti tentang hukum, maka tidak perlu lagi ada ijtihad lagi.
Hukum yang dikeluarkan atau yang
dihasilkan oleh mujtahid adalah hukum Allah bukan kalam Allah. Sedangkan dalil
yang beleh diijtihadkan adalah dalil zhonni bukan dalil qoth’i.
[1] Kholid Ramadhan Hasan, Mu’jam ushul al-Fiqh, (Masr :
Dar ar-Raudha, 1998), h. 249
[2] Muhammad Abu Zahra, Ushul al-Fiqh, (Masr : Dar al-Fikr
al-‘Arabi, 1958), h. 379
[3] Wahbah al-Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islamy, (Beirut : Dar
al-Fikr, 1986), Juz II, h. 1038
[4] Nadiyah Syarif al-Umari, al-Ijtihadu fi al-Islami, (Beirut:
Muassasatu ar-Risalah, 1981), h. 25
[5] Ibid., h. 27-28
[6] Muhammad Abu Zahrah, Loc. Cit
[7] Muhammad al-Zuhaili, Marja’ al-Ulum al-Islamiyah, (Damsyik :
Dar al Ma’rifah, t.th), h. 588
[8] Abu Ishaq al-Syatibi, al-Muwafaqot, IV, (Beirut: Dar
al-Fikr, 1341), h. 140-141
[9] Assayuthi, Jami’ as-Shaghir, (Bandung: PT. Ma’arif, t.th),h.
24
[10] Nadiyah Syarif, Op. Cit., h. 83
[11] Ibid., h. 70
[12] Abu Zahra, Op. Cit., h. 383
[13] Loc.Cit
[14] Ibid., h. 384
[15] Nadiyah Syarif, Op. Cit. h. 64
[16] Ibid., h. 83
[17] Nadiya Syarif Op. Cit., h. 91
[18] Abu Zahrah, Op. Cit., h. 385
[19] Abdul Hay ‘Uzzab, Buhuts fi ushul al-Fiqh, (Kairo : Maktabah
al-Azhar, t.th), 206
[20] Asy-Syathibi, Op.Cit, h. 56
[21] Abu Zahrah, Op. Cit., h. 388
[22] Kudari Bek, Ushul fiqh, (tt. : Dar al-Fikr, 1981), h. 132
[24] Ibid., h. 397
[25] Ibid., h. 398
[26] Al-Bashari al-Mu’tazili, al-Mu’tamad Ushul Fiqh, Juz II,
(Libanon : Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, t.th), h. 366-367
[27] Asy-Syatibi, Op. Cit., Juz III, h. 144
Tidak ada komentar:
Posting Komentar