Sabtu, 28 Desember 2013

Istihsan Menurut Kitab Ushul al-Syarakhsy



I.   Pendahuluan
Istihsan merupakan salah satu metode ijtihad yang diperselisihkan oleh para ulama, meskipun dalam kenyataannya, semua ulama menggunakannya secara praktis. Pada dasarnya, para ulama menggunakan istihsan dalam arti lughawi (bahasa), yaitu “berbuat sesuatu yang lebih baik”. Tetapi dalam pengertian istilahnya, para ulama berbeda pendapat disebabkan oleh perbedaan dalam memahami dan mendefenisikan istihsan itu.
Istihsan terdapat dalam ushul Fiqh Maliki dan Hanafi, artinya mazhab Maliki dan Hanafilah yang melakukan istinbath hukum dengan isthsan. Sedangkan Imam Syafi’i merupakan ulama yang sangat keras mengeritik isthsan tersebut.
Abu Hanifah banyak menetapkan hukum dengan isthsan, tetapi ia tidak pernah menjelaskan pengertian dan rumusan dari istihsan yang dilakukannya itu. Oleh karena itu dia dikatakan menetapkan hukum hanya menurut kemauannya saja tanpa memakai metode. Asal sudah dipandang baik sudah bisa menjadi dasar penetapan hukum, karena demikianlah arti yang ditunjukkan oleh kata  isthsan itu. Banyak fuqaha yang tidak mengetahui hakikat  isthsan  yang dipraktekkan oleh Abu Hanifah, dan karena itu menurut Husain Hamid Hassan, berpegangnya Abu Hanifah kepada isthsan menjadi sumber kritikan terhadapnya. Malah sampai kepada mencelanya sebagai orang yang tidak mengetahui fiqh dan meragukan kewarakannya.[1]
Setelah timbul kritikan-kritikan itu, maka para sahabat dan murid Abu Hanifah berusaha menjelaskan pengertian dan rumusan istihsan yang banyak dilakukan oleh imam mereka. Mereka berusaha menjelaskan bahwa sesungguhnya isthsan itu tidak keluar dari dalil-dalil syarak. Di antara mereka adalah Imam As-Syarkhasi,  yang mengarang sebuah kitab terkenal yang menjadi rujukan bagi pengikut mazhab Hanafi, bernama “Ushul al-Syarkhasi” yang akan diulas dalam makalah ini, khususnya tentang al-Istihsaan. Moga makalah ini menammbah wawasan kita semua.

II.  Pembahasan
A.    Biografi  Al-Syarkhasi

Dalam kajian ushul al-fiqh, nama Abu Bakr Muhammad bin Abi Sahl al-Sarkhasi adalah nama yang tidak asing lagi. Ia termasuk salah satu ulama cerdas yang berdiri di garda terdepan madzhab Hanafi. Kedigdayaan intelektual dan kezuhudan yang luar biasa telah menempatkan dirinya sebagai al-Imam al-Ajall al-Zahid Syams al-A`immah (Sang Imam Agung yang Zuhud dan Matahari Para Imam).
Tahun kelahiran al-Sarkhasi tidak diketahui secara pasti, bahkan tahun wafatnya pun diperselisihkan para ulama. Ada yang mengatakan ia meninggal dunia di penghujung tahun 490 H. Riwayat lain mengatakan ia wafat pada tahun 483 H, bahkan ada yang mengatakan ia berpulang ke rahmatullah di penghujung tahun 500 H.
Tokoh yang satu ini merupakan pakar fiqh sekaligus ushul fiqh Madzhab Hanafi. Melalui kitabnya yang dikenal dengan nama Ushul al-Sarkhasi ia menuangkan pikiran-pikirannya mengenai ushul al-fiqh untuk membela keputusan-keputusan hukum dari kalangan madzhab-nya. Dengan demikian, corak ushul fiqh-nya mengikuti thariqah al-Hanafiyyah bukan thariqah al-Mutakallimin.
Dalam pengantarnya, al-Sarkhasi mengemukakan alasan yang mendorongnya untuk menulis kitab tersebut. Bermula setelah menulis anotasi (syarh) terhadap beberapa kitab Muhammad bin al-Hasan, kemudian ia berfikir untuk menjelaskan al-ushul yang melandasi anotasinya agar dapat mempermudah dalam memahami al-furu’. [Jilid, I, h. 10].
Membincang ushul al-fiqh berarti membincang metodologi dan proses terbentuknya sebuah ketetapan hukum fiqh. Seorang dianggap sebagai ahli fiqh sejati jika dirinya memiliki setidaknya tiga hal. Pertama, ia memiliki pengetahuan tentang hal-hal yang disyariatkan. Kedua, memiliki keahlian khusus dalam mengetahui hal-hal yang disyariatkan melalui nash berserta maknanya dan dapat memferifikasi al-ushul dengan pelbagai al-furu’-nya. Atau dengan kata lain dalam mengetahui hal-hal yang disyari'atkan tadi ia menggunakan metode analisis hukum. Ketiga, mengamalkan semua semua.
Karenanya, orang yang hanya hafal hal-hal yang disyari'atkan saja tapi tidak menguasai atau menggunakan metode analisis hukum, maka ia bukanlah ahli fiqh sejati, tetapi lebih tepat disebut sebagai rawi. Sedang seandainya, ia hafal hal-hal yang disyari'atkan tersebut dan menguasai atau menggunakan metode analisis hukum, tetapi tidak mengamalkanya, maka ia hanya disebut sebagai ahli fiqh yang parsial (min wajh duna wajh). [Jilid, I, h. 10].
Pandangan di atas acapkali -menurut Khaled Abou El-Fadl- menimbulkan ketegangan antara kelompok ahli fiqh dengan kalangan ahli hadits yang proses analisis hukumnya sebagian besar bersifat mekanis, yaitu hanya mencari-cari hadits yang cocok untuk dipasang pada persoalan yang dihadapi dalam situasi faktual.
B.     Karya-karya Al-Sakhrasi
Di antara warisan intelektual al-Sarkhasi yang dapat kita nikmati ialah kitab Syarh al-Siyar al-Kabir, al-Mabsuth, dan Ushul al-Sarkhasi.
1.      Syarh al-Siyar al-Kabir
Karya ini adalah sebuah komentar pada Kitab al-Siyar al-kabir al-Shaybani . Ini menunjukkan peran preferensi hukum dalam hukum syariah. The Syarah al-Siyar al-Kabir menunjukkan cakupan luas yang sama, pengembangan aturan dan pertimbangan cermat dari argumen hermeneutis yang terlihat di Mabsut tersebut
2.      al-Mabsuth
Mabsut Al-Sarakhsi merupakan furu, tersebar di 30 jilid, yang commentates pada Mukhtasar kerja, yang ditulis oleh Muhammad bin Muhammad al-Marwazi. Mukhtasar merangkum beberapa teks-teks dasar dari sekolah Hanafi, yang ditulis oleh Muhammad al-Shaybani. Al-Shaybani adalah seorang sahabat Imam Abu Hanifah, pendiri sekolah Hanafi . Dalam Mabsut nya, Al-Sarakhsi mengolah kembali banyak konsep dari karya al-Shaybani itu. Ia mengorganisir karyanya di sekitar titik sengketa (Ikhtilaf) dan dimasukkan informasi lebih lanjut dari sekolah Hanafi, serta sekolah-sekolah lainnya. Mabsut adalah terorganisir dengan baik, meliputi topik komprehensif, mengeksplorasi poin dari sengketa secara menyeluruh, dan memanipulasi. hermeneutis argumen dengan baik. Faktor-faktor ini membuat Mabsut bagian yang sangat berpengaruh dari literatur hukum,.. itu adalah pekerjaan penting furu di sekolah Hanafi sampai abad ke-19 "Maknanya di kemudian hari tercermin dalam pernyataan dari ahli hukum Hanafi abad ke-15, al-Din 'Ala' al-Tarabulusi (w. 1440): "Barangsiapa menghafal al-Mabsut dan doktrin para ulama kuno menjadi demikian mujtahid. Al-Sarakhsi penawaran dengan tema banyak Mabsut nya, ini termasuk preferensi hukum, legalitas melakukan kegiatan dengan benda-benda yang diperoleh secara ilegal, zakat (sedekah pajak, salah satu dari Rukun Islam) dan tanah reklamasi.

3.      Ushul al-Sarkhasi.
Buku ushul asl-Sarkhasi ini berbicara tentang ushul fiqh, di dalamnya terdapat berbagai macam permasalahan fiqh serta penjelasan dan mengemukakan kaidah ushulnya. Keterangan lanjut akan dibahasa dalam bagian berikutnya.

C.    Ringkasan Buku Ushul al-Sarkhasi
Buku ushul asl-Sarkhasi ini berbicara tentang ushul fiqh, di dalamnya terdapat berbagai macam permasalahan fiqh serta penjelasan dan mengemukakan kaidah ushulnya. Dengan melihat luasnya pengetahuan pengarang dan posisinya diantara kalangan ulama di masanya, menjadikan buku ini sebagai sumber  penting dalam ushul fiqh. Sehingga muncul sebuah istilah “Ketika berbicar atentang ushul fiqh, maka yang terlintas adalah ushul al-sarkhasi.”
Ushul al-Sarkhasi terdiri dari dua Jilid. Jilid pertama terdiri dari 35 (tiga puluh lima) pokok pembahasan, yang diawali dengan pembahasan tentang amr dan diakhiri dengan al-Akhbaar. Sedangkan jilid kedua terdiri dari 26 (dua puluh enam) pokok pembahasan, yang diawali dengan lanjutan penjelasan tentang al-Akhbaar dan ditutup dengan penjelasan tentang ahliyah al-adaa’. Namun pada jilid II ini ada sedikit perbedaan dengan jilid sebelumnya. Pembeda itu adalah adanya dua bab bahasan khusus, yakni  tentang qiyas dan tarjih.
Adapun bab istihsan yang difokuskan pada makalah ini dimasukkan As-Sarkhasi pada bab Qiyas. Hal ini kemungkinan besar terkait dengan pemikiran pengarang bahwa istihsan itu merupakan bagian dari qiyas (hal ini akan dijelaskan lebih lanjut pada bagian berikutnya).
Gaya penyusunan kitab al-Sarkhasi memang agak sedikit menyulitkan pembacanya. Sebab, dibutuhkan kemapuan prima dan ketelitian ekstra agar dapat menyambungkan hubungan antara bab yang satu dengan bab lainnya. Dan rasanya takterbantahkan bahwa argumen-argumen dan pemikiran ushul al-fiqh-nya yang nota benenya adalah sebagai penjelasan teoritis dari anotasinya atas kitab-kitab Muhammad bin Hasan layak untuk diperhitungkan.
Bab pertama yang dikupas al-Sarkhasi dalam kitabnya adalah mengenai amr (perintah) dan nahy (larangan). Pilihan untuk meletakkan kedua hal tersebut pada pembahasan pertama bukan tanpa alasan. Menurutnya, pembahasan mengenai perintah dan larangan merupakan hal yang mendasar karena sebagian besar ibtila` (ujian bagi manusia) itu berurusan dengan soal perintah dan larangan. Di samping itu, pengetahuan tentang keduanya akan dapat menyempurnakan pengetahun tentang ahkam dan perbedaan halal-haram. (Ushul al-Sarakhsi Jilid, I, h. 11).
Adapun mengenai sumber-sumber hukum, yaitu al-Qur`an, as-Sunnah, al-Ijma’ dan al-Qiyas hanya disebutkan sekilas saja. Itu pun dalam rangka menjelaskan aborgasi (al-Nasikh wa al-Mansukh). (untuk lebih jelasnya lihat Ushul al-Sarakhsi, jilid, II, h. 65-86). Lantas bagaimana kita bisa mengetahui aborgasi? al-Sarkhasi mengatakan aborgasi dapat diketahui dengan sejarah. Dan pengetahuan tentang aborgasi juga dapat berguna menafikan adanya pertentangan (ta’arudh) antara nash. Pandangan ini membawa kepada kesimpulan bahwa pada dasarnya yang wajib adalah memahami sejarah (al-wajib fi al-ashl thalab al-tarikh).
Di samping itu dalam pandangan al-Sarkhasi, asbab al-nuzul juga memiliki peranan signifikan dalam menyelesaikan ta’arudh. Ia mengatakan bahwa apabila terjadi dua ayat yang saling bertentangan maka jalan keluarnya adalah kembali kepada asbab al-nuzul keduanya agar sejarah keduanya dapat diketahui. Jadi, pada dasarnya ta’arudh itu terjadi karena ketidaktahuan kita tentang sejarah. (Jilid, II, h. 12 dan 13].
Konsekuensi dari pendekatan yang dilakukan al-Sarkhasi adalah bahwa kesimpulan hukum diambil dari kekhusuan sebab (al-‘ibrah bi khusush al-sabab). Hal ini juga menegaskan adanya hubungan antara realitas dan wahyu. Atau dengan kata lain, wahyu tidak turun diruang hampa. Tetapi, kembali kepada asbab al-nuzul bukan tanpa persoalan serius. Pandangan ini tetap menyisakan setidaknya dua persoalan yang harus segera diatasi. Pertama, tidak semua ayat al-Qur`an memiliki asbab al-nuzul. Kedua, riwayat yang beredar mengenai asbab al-nuzul masih dipertanyakan validitasnya. Lantas bagaimana dengan jawaban al-Sarkhasi tentang kedua hal tersebut?
Karena keterbatasan ruang dan waktu saya tidak akan membahas bagaimana jawaban al-Sarkhasi mengenai kedua persoalan di atas. Tetapi hemat saya kitab Ushul al-Sarkhasi harus dibaca jika kita ingin melihat kepiawaian argumentasi al-Sarkhasi, terutama dalam membela dasar-dasar fiqh madzhab Hanafi.
D.    Istihsan Menurut Buku Ushul al-Sakhrasi
1.      Defenisi Istihsan
Istihsan secara etimologi adalah “menganggap sesuatu itu baik”. Sebagaimana firman Allah dala al-Qur’an:
فَبَشِّرْ عِباَدِيَ الَّذِيْنَ يَسْتَمِعُوْنَ الْقَوْلَ فَيَتَّبِعُوْنَ أَحْسَنَهُ....
ِArtinya: “ maka beri kabar gembiralah hamba-hambaku yang mendengar ucapan, lalu mereka mengikuti ucapan yang baiknya.”
Istihsan menurut ahli fiqh terbagi kepada dua:
1.      Berijtihad dengan segenap fikiran dalam menentukan hukum syarak sebagai wakil dari pendapat kita.
Contoh: Firman Allah:
وعلى المولود له رزقهن وكسوتهن بالمعروف

2.      Dalil yang bertentangan dengan qiyas zahiri yang diawali dengan keraguan sebelum sampai pada penghayatan yang sempurna, dan setelah sampai pada penghayatan yang sempurna pada hukum tertentu lalu menyerupakannya dengan kaidah asalnya, maka akan jelaslah bahwa dalil yang berlawanan dengannya akan lebih tinggi kekuatannya, dan wajib mengamalkannnya.

Istihsan menurut Al-Sakhrazi adalah ber’amal dengan dalil yang kuat, bukan dengan kehendak hawa nafsu dan syahwat. Imam Syafi’i sendiri berkomentar bahwa istihsan ini dia sukai. Dengan demikian secara tidak langsung Imam Syafi’i juga mengakui dan mengistinbathkan hukum dengan istihsan ini.
Istihsan bukan hanya pengkhususan ‘illat tentang suatu hal saja, akan tetapi dalam memperoleh kesimpulan tentang suatu hal tersebut tetap merujuk pada al-Qur’an, sunnah dan ulama salaf. Sebagaimana yang disabdakan oleh nabi Muhammad saw. :
مَا رَآهُ الْمُسْلِمُوْنَ حُسْنًا فَهُوَ عِنْدَ اللهِ حُسْنٌ.
Artinya: “apa yang dipandang baik oleh orang yang beriman, maka itulah yang baik di sisi Allah.”
2.      Pembagian Istihsan
istihsan pada hakikatnya adalah dua macam qiyas. Yang pertama, qiyas yang jelas (qiyas jail) tetapi pengaruhnya dalam mencapai istinbath hukum kurang kuat.
sedangkan yang kedua adalah qiyas khafi (qiyas yang tersembunyi), yang mempunyai pengaruh yang kuat. Inilah yang dinamakan dengan istihsan. Pengaruh yang lebih kuat itulah yang menyebabkan istihsan lebih diutamakan daripada qiyas. Atau dengan perkataan lain, pengutamaan istihsan daripada qiyas semata-mata didasarkan kepada pengaruh hukmnya, bukan didasarkan pada khafi atau jalinya bentuk qiyas.

III.  Penutup
A.    Kesimpulan
1.      Abu Bakr Muhammad bin Abi Sahl al-Sarkhasi adalah nama salah satu ulama cerdas yang berdiri di garda terdepan madzhab Hanafi. Kedigdayaan intelektual dan kezuhudan yang luar biasa telah menempatkan dirinya sebagai al-Imam al-Ajall al-Zahid Syams al-A`immah.
2.      Buku ushul al-Sarkhasi berbicara tentang ushul fiqh, di dalamnya terdapat berbagai macam permasalahan fiqh serta penjelasan dan mengemukakan kaidah ushulnya.
3.      Istihsan ada dua macam qiyas. Yang pertama, qiyas yang jelas (qiyas jail) tetapi pengaruhnya dalam mencapai istinbath hukum kurang kuat. sedangkan yang kedua adalah qiyas khafi (qiyas yang tersembunyi), yang mempunyai pengaruh yang kuat.

Referensi
Kitab Ushul al-Sarkhasi, cetakan ke 2, tahun 1426 H / 2005 M yang ditahqiq oleh Abu al-Wafa al-Afghani dan diterbitkan oleh Dar al-Kutub al-'Ilmiyyah-Beyrut.


[1] Husain Hamid Hassan, Nazhaariyat Al-Mashlahal fi al-fiqh al-islami, (t.t, dar an-nahdhah al-[arabiyyah, t.th), hal. 585

Tidak ada komentar:

Posting Komentar