I.
Pendahuluan
Istihsan merupakan salah satu metode ijtihad yang diperselisihkan
oleh para ulama, meskipun dalam kenyataannya, semua ulama menggunakannya secara
praktis. Pada dasarnya, para ulama menggunakan istihsan dalam arti lughawi (bahasa),
yaitu “berbuat sesuatu yang lebih baik”. Tetapi dalam pengertian istilahnya,
para ulama berbeda pendapat disebabkan oleh perbedaan dalam memahami dan
mendefenisikan istihsan itu.
Istihsan
terdapat dalam ushul Fiqh Maliki dan Hanafi, artinya mazhab Maliki dan
Hanafilah yang melakukan istinbath hukum dengan isthsan.
Sedangkan Imam Syafi’i merupakan ulama yang sangat keras mengeritik isthsan
tersebut.
Abu Hanifah banyak menetapkan hukum dengan isthsan, tetapi
ia tidak pernah menjelaskan pengertian dan rumusan dari istihsan yang
dilakukannya itu. Oleh karena itu dia dikatakan menetapkan hukum hanya menurut
kemauannya saja tanpa memakai metode. Asal sudah dipandang baik sudah bisa
menjadi dasar penetapan hukum, karena demikianlah arti yang ditunjukkan oleh
kata isthsan itu. Banyak fuqaha
yang tidak mengetahui hakikat isthsan yang dipraktekkan oleh Abu Hanifah, dan
karena itu menurut Husain Hamid Hassan, berpegangnya Abu Hanifah kepada isthsan
menjadi sumber kritikan terhadapnya. Malah sampai kepada mencelanya sebagai
orang yang tidak mengetahui fiqh dan meragukan kewarakannya.[1]
Setelah timbul kritikan-kritikan itu, maka para sahabat dan murid
Abu Hanifah berusaha menjelaskan pengertian dan rumusan istihsan yang banyak
dilakukan oleh imam mereka. Mereka berusaha menjelaskan bahwa sesungguhnya isthsan
itu tidak keluar dari dalil-dalil syarak. Di antara mereka adalah Imam
As-Syarkhasi, yang mengarang sebuah
kitab terkenal yang menjadi rujukan bagi pengikut mazhab Hanafi, bernama “Ushul
al-Syarkhasi” yang akan diulas dalam makalah ini, khususnya tentang
al-Istihsaan. Moga makalah ini menammbah wawasan kita semua.
II.
Pembahasan
A.
Biografi Al-Syarkhasi
Dalam kajian ushul
al-fiqh, nama Abu Bakr Muhammad bin Abi Sahl al-Sarkhasi adalah nama yang
tidak asing lagi. Ia termasuk salah satu ulama cerdas yang berdiri di garda terdepan madzhab Hanafi. Kedigdayaan
intelektual dan kezuhudan yang luar biasa telah menempatkan dirinya
sebagai al-Imam al-Ajall al-Zahid Syams al-A`immah (Sang Imam Agung yang
Zuhud dan Matahari Para Imam).
Tahun kelahiran al-Sarkhasi
tidak diketahui secara pasti, bahkan tahun wafatnya pun diperselisihkan para
ulama. Ada yang mengatakan ia meninggal dunia di penghujung tahun 490 H.
Riwayat lain mengatakan ia wafat pada tahun 483 H, bahkan ada yang mengatakan
ia berpulang ke rahmatullah di penghujung tahun 500 H.
Tokoh yang satu ini
merupakan pakar fiqh sekaligus ushul fiqh Madzhab Hanafi. Melalui
kitabnya yang dikenal dengan nama Ushul al-Sarkhasi ia menuangkan
pikiran-pikirannya mengenai ushul al-fiqh untuk membela
keputusan-keputusan hukum dari kalangan madzhab-nya. Dengan demikian, corak ushul
fiqh-nya mengikuti thariqah al-Hanafiyyah bukan thariqah
al-Mutakallimin.
Dalam pengantarnya,
al-Sarkhasi mengemukakan alasan yang mendorongnya untuk menulis kitab tersebut.
Bermula setelah menulis anotasi (syarh) terhadap beberapa kitab Muhammad
bin al-Hasan, kemudian ia berfikir untuk menjelaskan al-ushul yang melandasi
anotasinya agar dapat mempermudah dalam memahami al-furu’. [Jilid, I, h.
10].
Membincang ushul al-fiqh berarti
membincang metodologi dan proses terbentuknya sebuah ketetapan hukum fiqh.
Seorang dianggap sebagai ahli fiqh sejati jika dirinya memiliki setidaknya tiga
hal. Pertama, ia memiliki pengetahuan tentang hal-hal yang disyariatkan.
Kedua, memiliki keahlian khusus dalam mengetahui hal-hal yang
disyariatkan melalui nash berserta maknanya dan dapat memferifikasi al-ushul
dengan pelbagai al-furu’-nya. Atau dengan kata lain dalam mengetahui
hal-hal yang disyari'atkan tadi ia menggunakan metode analisis hukum. Ketiga,
mengamalkan semua semua.
Karenanya, orang yang hanya
hafal hal-hal yang disyari'atkan saja tapi tidak menguasai atau menggunakan
metode analisis hukum, maka ia bukanlah ahli fiqh sejati, tetapi lebih tepat
disebut sebagai rawi. Sedang seandainya, ia hafal hal-hal yang
disyari'atkan tersebut dan menguasai atau menggunakan metode analisis hukum,
tetapi tidak mengamalkanya, maka ia hanya disebut sebagai ahli fiqh yang
parsial (min wajh duna wajh). [Jilid, I, h. 10].
Pandangan di atas acapkali
-menurut Khaled Abou El-Fadl- menimbulkan ketegangan antara kelompok ahli fiqh
dengan kalangan ahli hadits yang proses analisis hukumnya sebagian besar
bersifat mekanis, yaitu hanya mencari-cari hadits yang cocok untuk dipasang
pada persoalan yang dihadapi dalam situasi faktual.
B.
Karya-karya
Al-Sakhrasi
Di antara warisan
intelektual al-Sarkhasi yang dapat kita nikmati ialah kitab Syarh al-Siyar
al-Kabir, al-Mabsuth, dan Ushul al-Sarkhasi.
1. Syarh al-Siyar al-Kabir
Karya ini adalah sebuah komentar pada
Kitab al-Siyar al-kabir al-Shaybani . Ini menunjukkan peran preferensi hukum
dalam hukum syariah. The Syarah al-Siyar al-Kabir menunjukkan cakupan luas yang
sama, pengembangan aturan dan pertimbangan cermat dari argumen hermeneutis yang
terlihat di Mabsut tersebut
2.
al-Mabsuth
Mabsut Al-Sarakhsi merupakan furu,
tersebar di 30 jilid, yang commentates pada Mukhtasar kerja, yang ditulis oleh
Muhammad bin
Muhammad al-Marwazi. Mukhtasar merangkum beberapa teks-teks dasar dari sekolah
Hanafi, yang ditulis oleh Muhammad al-Shaybani. Al-Shaybani adalah seorang
sahabat Imam Abu Hanifah, pendiri sekolah Hanafi . Dalam Mabsut nya,
Al-Sarakhsi mengolah kembali banyak konsep dari karya al-Shaybani itu. Ia
mengorganisir karyanya di sekitar titik sengketa (Ikhtilaf) dan dimasukkan
informasi lebih lanjut dari sekolah Hanafi, serta sekolah-sekolah lainnya.
Mabsut adalah terorganisir dengan baik, meliputi topik komprehensif,
mengeksplorasi poin dari sengketa secara menyeluruh, dan memanipulasi.
hermeneutis argumen dengan baik. Faktor-faktor ini membuat Mabsut bagian yang
sangat berpengaruh dari literatur hukum,.. itu adalah pekerjaan penting furu di
sekolah Hanafi sampai abad ke-19 "Maknanya di kemudian hari tercermin
dalam pernyataan dari ahli hukum Hanafi abad ke-15, al-Din 'Ala' al-Tarabulusi
(w. 1440): "Barangsiapa menghafal al-Mabsut dan doktrin para ulama kuno menjadi
demikian mujtahid. Al-Sarakhsi penawaran dengan tema banyak Mabsut nya, ini
termasuk preferensi hukum, legalitas melakukan kegiatan dengan benda-benda yang
diperoleh secara ilegal, zakat (sedekah pajak, salah satu dari Rukun Islam) dan
tanah reklamasi.
3.
Ushul al-Sarkhasi.
Buku
ushul asl-Sarkhasi ini berbicara tentang ushul fiqh, di dalamnya
terdapat berbagai macam permasalahan fiqh serta penjelasan dan mengemukakan
kaidah ushulnya. Keterangan lanjut akan dibahasa dalam bagian berikutnya.
C.
Ringkasan
Buku Ushul al-Sarkhasi
Buku ushul asl-Sarkhasi ini berbicara tentang ushul
fiqh, di dalamnya terdapat berbagai macam permasalahan fiqh serta
penjelasan dan mengemukakan kaidah ushulnya. Dengan melihat luasnya pengetahuan
pengarang dan posisinya diantara kalangan ulama di masanya, menjadikan buku ini
sebagai sumber penting dalam ushul fiqh.
Sehingga muncul sebuah istilah “Ketika berbicar atentang ushul fiqh, maka yang
terlintas adalah ushul al-sarkhasi.”
Ushul al-Sarkhasi terdiri dari
dua Jilid. Jilid pertama terdiri dari 35 (tiga puluh lima) pokok pembahasan,
yang diawali dengan pembahasan tentang amr dan diakhiri dengan al-Akhbaar.
Sedangkan jilid kedua terdiri dari 26 (dua puluh enam) pokok pembahasan, yang
diawali dengan lanjutan penjelasan tentang al-Akhbaar dan ditutup dengan
penjelasan tentang ahliyah al-adaa’. Namun pada jilid II ini ada sedikit
perbedaan dengan jilid sebelumnya. Pembeda itu adalah adanya dua bab bahasan
khusus, yakni tentang qiyas dan tarjih.
Adapun bab istihsan yang difokuskan pada makalah ini
dimasukkan As-Sarkhasi pada bab Qiyas. Hal
ini kemungkinan besar terkait dengan pemikiran pengarang bahwa istihsan itu
merupakan bagian dari qiyas (hal ini akan dijelaskan lebih lanjut pada bagian
berikutnya).
Gaya penyusunan kitab
al-Sarkhasi memang agak sedikit menyulitkan pembacanya. Sebab, dibutuhkan
kemapuan prima dan ketelitian ekstra agar dapat menyambungkan hubungan antara
bab yang satu dengan bab lainnya. Dan rasanya takterbantahkan bahwa
argumen-argumen dan pemikiran ushul al-fiqh-nya yang nota benenya adalah
sebagai penjelasan teoritis dari anotasinya atas kitab-kitab Muhammad bin Hasan
layak untuk diperhitungkan.
Bab pertama yang dikupas
al-Sarkhasi dalam kitabnya adalah mengenai amr (perintah) dan nahy (larangan).
Pilihan untuk meletakkan kedua hal tersebut pada pembahasan pertama bukan tanpa
alasan. Menurutnya, pembahasan mengenai perintah dan larangan merupakan hal
yang mendasar karena sebagian besar ibtila` (ujian bagi manusia) itu
berurusan dengan soal perintah dan larangan. Di samping itu, pengetahuan
tentang keduanya akan dapat menyempurnakan pengetahun tentang ahkam dan
perbedaan halal-haram. (Ushul al-Sarakhsi Jilid, I, h. 11).
Adapun mengenai
sumber-sumber hukum, yaitu al-Qur`an, as-Sunnah, al-Ijma’ dan al-Qiyas hanya
disebutkan sekilas saja. Itu pun dalam rangka menjelaskan aborgasi (al-Nasikh
wa al-Mansukh). (untuk lebih jelasnya lihat Ushul al-Sarakhsi,
jilid, II, h. 65-86). Lantas bagaimana kita bisa mengetahui aborgasi?
al-Sarkhasi mengatakan aborgasi dapat diketahui dengan sejarah. Dan pengetahuan
tentang aborgasi juga dapat berguna menafikan adanya pertentangan (ta’arudh)
antara nash. Pandangan ini membawa kepada kesimpulan bahwa pada dasarnya
yang wajib adalah memahami sejarah (al-wajib fi al-ashl thalab al-tarikh).
Di samping itu dalam
pandangan al-Sarkhasi, asbab al-nuzul juga memiliki peranan signifikan dalam
menyelesaikan ta’arudh. Ia mengatakan bahwa apabila terjadi dua ayat yang
saling bertentangan maka jalan keluarnya adalah kembali kepada asbab al-nuzul
keduanya agar sejarah keduanya dapat diketahui. Jadi, pada dasarnya ta’arudh
itu terjadi karena ketidaktahuan kita tentang sejarah. (Jilid, II, h. 12 dan
13].
Konsekuensi dari pendekatan
yang dilakukan al-Sarkhasi adalah bahwa kesimpulan hukum diambil dari kekhusuan
sebab (al-‘ibrah bi khusush al-sabab). Hal ini juga menegaskan adanya
hubungan antara realitas dan wahyu. Atau dengan kata lain, wahyu tidak turun
diruang hampa. Tetapi, kembali kepada asbab al-nuzul bukan tanpa
persoalan serius. Pandangan ini tetap menyisakan setidaknya dua persoalan yang
harus segera diatasi. Pertama, tidak semua ayat al-Qur`an memiliki asbab
al-nuzul. Kedua, riwayat yang beredar mengenai asbab al-nuzul masih
dipertanyakan validitasnya. Lantas bagaimana dengan jawaban al-Sarkhasi tentang
kedua hal tersebut?
Karena keterbatasan ruang
dan waktu saya tidak akan membahas bagaimana jawaban al-Sarkhasi mengenai kedua
persoalan di atas. Tetapi hemat saya kitab Ushul al-Sarkhasi harus
dibaca jika kita ingin melihat kepiawaian argumentasi al-Sarkhasi, terutama
dalam membela dasar-dasar fiqh madzhab
Hanafi.
D.
Istihsan
Menurut Buku Ushul al-Sakhrasi
1.
Defenisi Istihsan
Istihsan
secara etimologi adalah “menganggap sesuatu itu baik”. Sebagaimana firman Allah
dala al-Qur’an:
فَبَشِّرْ
عِباَدِيَ الَّذِيْنَ يَسْتَمِعُوْنَ الْقَوْلَ فَيَتَّبِعُوْنَ أَحْسَنَهُ....
ِArtinya: “ maka beri kabar gembiralah hamba-hambaku yang
mendengar ucapan, lalu mereka mengikuti ucapan yang baiknya.”
Istihsan menurut ahli fiqh terbagi kepada dua:
1.
Berijtihad
dengan segenap fikiran dalam menentukan hukum syarak sebagai wakil dari
pendapat kita.
Contoh: Firman Allah:
وعلى المولود له رزقهن وكسوتهن بالمعروف
2. Dalil yang bertentangan dengan qiyas zahiri
yang diawali dengan keraguan sebelum sampai pada penghayatan yang sempurna, dan
setelah sampai pada penghayatan yang sempurna pada hukum tertentu lalu
menyerupakannya dengan kaidah asalnya, maka akan jelaslah bahwa dalil yang
berlawanan dengannya akan lebih tinggi kekuatannya, dan wajib mengamalkannnya.
Istihsan menurut Al-Sakhrazi adalah ber’amal dengan dalil yang kuat, bukan dengan kehendak hawa nafsu dan syahwat. Imam Syafi’i sendiri berkomentar bahwa
istihsan ini dia sukai. Dengan demikian secara tidak langsung Imam Syafi’i juga
mengakui dan mengistinbathkan hukum dengan istihsan ini.
Istihsan
bukan hanya pengkhususan ‘illat tentang suatu hal saja, akan tetapi
dalam memperoleh kesimpulan tentang suatu hal tersebut tetap merujuk pada
al-Qur’an, sunnah dan ulama salaf. Sebagaimana yang disabdakan oleh nabi
Muhammad saw. :
مَا رَآهُ الْمُسْلِمُوْنَ حُسْنًا فَهُوَ عِنْدَ
اللهِ حُسْنٌ.
Artinya: “apa yang dipandang baik oleh
orang yang beriman, maka itulah yang baik di sisi Allah.”
2. Pembagian Istihsan
istihsan
pada hakikatnya adalah dua macam qiyas. Yang pertama, qiyas yang jelas (qiyas
jail) tetapi pengaruhnya dalam mencapai istinbath hukum kurang kuat.
sedangkan yang kedua adalah qiyas khafi (qiyas yang tersembunyi), yang
mempunyai pengaruh yang kuat. Inilah yang dinamakan dengan istihsan.
Pengaruh yang lebih kuat itulah yang menyebabkan istihsan lebih diutamakan
daripada qiyas. Atau dengan perkataan lain, pengutamaan istihsan daripada qiyas
semata-mata didasarkan kepada pengaruh hukmnya, bukan didasarkan pada khafi
atau jalinya bentuk qiyas.
III.
Penutup
A.
Kesimpulan
1. Abu Bakr Muhammad bin Abi
Sahl al-Sarkhasi adalah nama salah satu ulama cerdas yang berdiri di garda terdepan madzhab Hanafi. Kedigdayaan
intelektual dan kezuhudan yang luar biasa telah menempatkan dirinya
sebagai al-Imam al-Ajall al-Zahid Syams al-A`immah.
2. Buku ushul al-Sarkhasi berbicara tentang ushul fiqh, di dalamnya
terdapat berbagai macam permasalahan fiqh serta penjelasan dan mengemukakan
kaidah ushulnya.
3. Istihsan ada dua
macam qiyas. Yang pertama, qiyas yang jelas (qiyas jail) tetapi pengaruhnya
dalam mencapai istinbath
hukum kurang kuat. sedangkan yang kedua adalah qiyas khafi (qiyas yang
tersembunyi), yang mempunyai pengaruh yang kuat.
Referensi
Kitab Ushul
al-Sarkhasi, cetakan ke 2, tahun 1426 H / 2005 M yang ditahqiq oleh Abu al-Wafa
al-Afghani dan diterbitkan oleh Dar al-Kutub al-'Ilmiyyah-Beyrut.
[1] Husain Hamid Hassan, Nazhaariyat Al-Mashlahal fi al-fiqh al-islami,
(t.t, dar an-nahdhah al-[arabiyyah, t.th), hal. 585
Tidak ada komentar:
Posting Komentar